DESENTRALISASI
KONSEP DAN IDE DESENTRALISASI DI INDONESIA (Berdasarkan Perbedaan Desentralisasi, Dekosentrasi dan Devolusi)
KONSEP DAN IDE DESENTRALISASI DI INDONESIA
(Berdasarkan
Perbedaan Desentralisasi, Dekosentrasi dan Devolusi)
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam teori pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua model dalam
formasi negara, yaitu model negara federal dan model negara kesatuan. Model negara
federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara
atau wilayah independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam
kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu
yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federasi itu
kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan
nama tertentu dalam lingkungan federal. Dalam negara kesatuan, asumsi dasarnya
berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan
dideklarasikan saat kemerdekaan oleh pendiri negara dengan mengklaim seluruh
wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara. Tidak ada kesepakatan para
penguasa daerah, apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah
yang termasuk didalamnya bukanlah
bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara
membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan
atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan
masyarakatnya. Diasumsikan bahwa negara adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan
daerah pada dasarnya adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan
selanjutnya terbentuklah daerah-daerah otonom (Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas
Rasyid, 1999).
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara yang
berbentuk kesatuan (einheidsstaat). Hubungan dan mekanisme antara
pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu conditio sine qua non dalam
negara yang berbentuk kesatuan seperti Negara Republik Indonesia.
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disebutkan
bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan dalam penyelenggaraan
pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan.
Penyelenggaraan asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di
daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
dan keleluasaan kepada daerah otonom untuk dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat secara bertanggungjawab menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah yang telah berkembang menjadi wacana publik di berbagai
lapisan masyarakat umum akhir-akhir ini mengalami “bias” baik dalam tataran
teoritik maupun tataran praktik. Salah satu bias yang paling mencolok adalah
adanya pengertian bahwa otonomi daerah semata-mata adalah persoalan mewujudkan
kemandirian daerah (kabupaten dan kota) baik dalam mengelola uang (money)
maupun urusan (business)-nya sendiri. Dengan kecenderungan tersebut maka
fokus perhatian kabupaten dan kota hanya kepada seberapa besar dana, sumber
dana, dan urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada kabupaten dan
kota.
Dengan memperhatikan fenomena diatas maka dalam konteks kepentingan
kabupaten dan kota pengertian otonomi daerah perlu diletakkan dalam kerangka
dan substansi yang proporsional, yaitu bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada
gilirannya harus mampu memberikan pelayanan publik yang optimal kepada seluruh
masyarakat, sehingga pada akhirnya mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Isu tentang otonomi daerah tidak dapat dipisahkan dari isu desentralisasi
karena pemberian otonomi kepada daerah bersumber dari kebijakan desentralisasi.
Tulisan ini bermaksud membahas konsep dan isu desentralisasi serta
manifestasinya dalam pengelolaan pemerintahan di Indonesia.
BAB
II
PERMASALAHAN
Interpretasi Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai
satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antar wilayah geografis. Terdapat
beberapa penjelasan yang melandasi ketidak berpihakan pandangan ini terhadap
desentralisasi. Pertama, pandangan ini melihat bahwa pembagian wilayah dalam
konteks desentralisasi hanya akan menciptakan kondisi terjadinya akumulasi
modal sehingga memunculkan kembali kaum kapitalis. Kedua, desentralisasi juga
akan mempengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi
kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua
kelas. Desentralisasi hanya akan menghasilkan ketidak-adilan baru dalam
konsumsi kolektif antar wilayah. Ketiga, meskipun demokrasi pada dasarnya akan
menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah (yang berarti seharusnya kelas
pekerja yang mendominasi, tetapi ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh kaum
kapitalis untuk menghalang-halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan.
Lembaga-lembaga perwakilan dalam pemerintahan daerah tetap merupakan simbol
demokrasi liberal dan tetap akan dikuasai oleh kaum kapitalis. Keempat, dalam
kaitannya dengan hubungan antar pemerintahan, maka pemerintah daerah hanya
menjadi kepanjangan aparat pemerintah pusat untuk menjaga kepentingan monopoli
kapital. Dalam bidang perencanaan, desentralisasi juga tidak akan pernah
menguntungkan daerah-daerah pinggiran dan membiarkannya dengan melindungi
daerah kapitalis. Desentralisasi juga menghindarkan redistribusi keuangan dan
pajak dari daerah kaya ke daerah miskin. Desentralisasi hanya akan
menghilangkan tanggung jawab kaum borjuis terhadap daerah-daerah yang tertekan.
Kelima, terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi lokal akan
berjalan dalam suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek ekologis,
politik, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi di tingkat lokal hanya akan
mengalami kegagalan. Menurut pandangan Marxist semua ini hanya akan dapat
ditanggulangi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistnbusi dan keadilan.
Maka penulis akan mencoba menguraikan beberapa masalah yang ada yaitu :
1.
Apakah perbedaan Desentralisasi dengan
Dekosentrasi dan Devolusi?
2.
Bagaiamanakah konsep dan aplikasi
desentralisasi?
3.
Apa saja permasalahan dari Desentralisasi?
BAB
III
PEMBAHASAN
Antara
Desentralisasi, Dekosentrasi, Devolusi dan istilah lainnya
Setiap negara, apapun bentuk negara tersebut, memiliki fungsi-fungsi
tertentu sebagai upaya untuk mencapai tujuan negara. Menurut
Dr. Pratikn (2006), terdapat 3
fungsi yang di miliki oleh negara yaitu; fungsi pelayanan publik (public
services), fungsi pembangunan/kesejahteraan (welfare), dan fungsi
pengaturan/ketertiban (governability). Untuk melaksanakan ketiga fungsi
ini agar lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Pusat perlu melakukan
transfer atau memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Transfer/memberikan kewenangan dan
tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah tingkat yang lebih
rendah ini menurut Litvack & Seddon (1999 :2) di namakan juga dengan
”desentralisasi”
“Decentralization
is the transfer of authority and responsibility for public from the central
government to subordinate or quasi-independece government or organization, or
the private sector”
Rondinelli (1981)mengartikan desentralisasi sebagai “transfer
of political power”. Transfer kewenangan atau pembagian kekuasaan ini
terjadi dalam perencanaan pemerintah, pengambilan keputusan dan administrasi
dari pemerintah pusat ke unit-unit organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah
daerah, organisasi setengah swatantra-otorita, pemerintah daerah dan non
pemerintah daerah. Selanjutnya menurut Rondinelli, terdapat empat model
desentralisasi yang umum dijumpai dalam prakteknya, yaitu dekonsentrasi,
devolusi, delegasi dan privatisasi.
Istilah dekonsentrasi ini dipakai untuk
menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan administrasi ke kantor-kantor
daerah dari Departemen pemerintah pusat. Karena dalam
model ini hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politis,
maka jenis ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah. Dekonsentrasi
ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling sering diterapkan di
negara-negara sedang berkembang sejak tahun 1970-an.
Istilah Devolusi
ini merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan
tingkat sub-nasional. Biasanya di tingkat sub-nasional telah mempunyai status
hukum yang jelas, mempunyai batasan geografis yang tegas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk
mencari pendapatan dan membelanjakannya.
Istilah Delegasi
ini merupakan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas
tertentu ke organisasi–organisasi yang berada di luar struktur pemerintah pusat
dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat.
Dan sementara privatisasi
ini merupakan pemindahan tugas-tugas dan pengelolaan ke
organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan-perusahaan privat yang
mencari laba maupun tidak. Banyak pemerintah di negara yang sedang berkembang
telah lamah bergantung kepada organisasi-organisasi sukarela dalam penyediaan
pelayanan publik. Karena seringnya pemerintah tidak dapat menanggung biaya
pengembangan maka dicarilah alternatif-alternatif pembiayaan untuk menjamin
terselenggaranya pelayanan publik.
Pendapat lain tentang desentralisasi dikemukakan oleh Carolie Bryant
dan Louise G White. Desentralisasi diartikannya sebagai transfer
kekuasaan/kewenangan yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi
administratif maupun desentralisasi politik. Desentralisasi
administratif adalah pendelegasian wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada
pejabat pusat di tingkat daerah, sedangkan desentralisasi politik adalah
pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap
sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan
daerah.
Konsekuensi dari penyerahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan pengawasan
kepada pemerintah lokal adalah akan memberdayakan kemampuan daerah (empowerment
local capasity). Apabila pemerintahan daerah diserahi tanggung jawab
terhadap sumber daya, maka kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan
meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah daerah hanya ditugaskan untuk mengikuti
kebijakan pusat maka partisipasi para elit daerah dan warganya akan rendah. Akibatnya, daya kreativitas, dan inovasi
masyarakat menjadi lemah dan tidak berkembang serta tingkat ketergantungan
masyarakat dan pemerintahan daerah kepada pusatnya semakin tinggi.
Menurut Rondinelli,
harus dibedakan antara desentralisasi fungsi dan desentralisasi geografis.
Pembedaan ini dalam organisasi sistem pelayanan kesehatan misalnya, sangat
relevan. Dalam desentralisasi fungsional, badan yang berwenang dalam
menjalankan fungsi tertentu misalnya pelayanan kesehatan diubah ke kantor
daerah yang khusus. Dalam desentralisasi wilayah, tanggung jawab luas dalam
pelayanan masyarakat dipindah ke-organisasi-organisasi daerah yang telah
mempunyai wilayah kerja yang jelas. Organisasi pelayanan kesehatan dapat
didesentralisasi dalam dua cara tersebut, tetapi departemen- departemen
mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi derajat desentralisasi fungsional
dibanding dengan desentralisasi wilayah, dimana sektor kesehatan hanya
merupakan salah satu pelayanan pemerintah yang didesentralisasi.
Menurut Yves Meny (1995
: 335), desentralisasi ini bisa terdapat dalam bentuk rezim pemerintahan
apapun, baik monarki atau republik, sistem federal maupun
non-federal.Desentralisasi dapat
dibandingkan dengan sistem federalisme (khususnya seperti yang terdapat di
Eropa), devolusi (di Inggris), regionalisasi (di Belgia, Italia dan Perancis)
dan dekonsentrasi (alat kelengkapan kekuasaan kepada perwakilan lokal dari
pemerintah pusat).
“desentralization
can take place ini any form of regime : monarchy or republic, federal or non
federal system”. It has been
contrasted with federalism (especially in europe), devolution (in
Britain), regionalization (in Belgium, Italy, and France), and deconcentration
(the attribution of power to local representatives of central government)”.
Dari sudut pandang klasik, desentralisasi biasanya diidentikkan dengan
masyarakat lokal, tapi desentralisasi secara aktual merupakan salah satu bentuk
organisasional yang dapat digunakan pada tingkatan (level) pemerintahan apapun
(seperti masyarakat, kota, propinsi, atau kabupaten).
“the
classical view identified decentralization with the local community, but it is
actually an organizational form that can be used at any local of government
(such as community, county, province, or region)”
Sementara itu, pengertian desentralisasi menurut UU No. 22 Tahun 1999
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, apakah tujuan
desentralisasi itu? Menurut Prof. Dr. Sadu Wasistiono (2005 : 61), terdapat
2 tujuan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administratif.
Tujuan politik dari desentralisasi adalah dalam rangka mewujudkan demokratisasi,
sedangkan tujuan administratifnya adalah dalam rangka efektivitas dan
efisiensi pemerintahan.
Dari pengertian diatas dapat
dikatakan bahwa desentralisasi pada dasarnya merupakan proses demokratisasi
pemerintahan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintahan
lokal (local government) dalam mengurus rumah tangga daerahnya untuk
mencapai efektivitas dan efisiensi pemerintahan.
Prof Dr. Riswandha Imawan
(2005 : 39) mengatakan bahwa “desentralisasi merupakan konsekwensi dari
demokratisasi. Tujuannya adalah membangun good governance
mulai dari akar rumput politik. Dengan
demikian, setiap keputusan harus dibicarakan bersama dan pelaksanaan dari
keputusan itu didesentralisasikan menjadi elemen penting dalam proses
demokratisasi. Bahkan secara tegas dinyatakan oleh Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA
(2007 : 17-18) bahwa “Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah
adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Hal ini
berarti ”Tidak ada demokrasi pemerintahan tanpa desentralisasi”
Menurut Sutoro Eko (2003 : 2),
keterkaitan antara desentralisasi dan demokratisasi kemudian melahirkan konsep
desentralisasi demokratis atau model Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat (ODBM).
Selanjutnya dikatakan oleh Sutoro Eko bahwa :
Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat
adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi dan demokrasi berbasis kepada
partisipasi masyarakat. Semuanya berasal dari masyarakat dan dikembalikan untuk
masyarakat, yaitu otonomi daerah yang dibangun dari partisipasi masyarakat,
dikelola secara transparan dan bertanggung jawab oleh masyarakat, dan dimanfaatkan
secara responsif untuk masyarakat”
Konsep ODBM identik dengan
konsep desentralisasi demokratis (democratic decentralization), yaitu
bentuk pengembangan hubungan sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah
lokal dan antara pemerintah lokal dengan warga masyarakat. Menurut Camille
Barnett, dkk (1997) yang dikutip oleh Sutoro Eko, desentralisasi demokratis
hendak mengelola kekuasan untuk mengembangkan kebijakan, perluasan proses
demokrasi pada level pemerintahan yang lebih rendah, dan mengembangkan standar
(ukuran) yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung secara berkelanjutan.
Desentralisasi: Konsep dan Aplikasinya
Dalam Penyelenggaraan Manajemen Pemerintahan di Indonesia
Dalam negara yang berbentuk kesatuan tidak mungkin
ada daerah yang bersifat “staat”. Konsekuensinya adalah timbul hubungan
hukum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah, khususnya di negara berkembang, sangat tergantung pada sistem
yang digunakan dalam pengaturan hubungan tersebut. Secara teoritis, ada dua
model sistem yang dapat digunakan, yakni model sistem sentralisasi dan model
sistem desentralisasi. Kedua sistem tersebut hanyalah terbatas sebagai model, sebab
secara empirik di seluruh dunia dewasa ini tidak ada satu negara yang secara
ekstrim pemerintahannya bersifat sentralisasi, sebaliknya juga tidak ada yang
sepenuhnya bersifat desentralisasi (Muchsan, 1999).
Dalam sistem sentralisasi semua kewenangan ada pada
pemerintah pusat, yang berarti semua daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat.
Dalam sistem desentralisasi terjadi penyerahan kewenangan pemerintah pusat
kepada daerah. Daerah yang mendapat
kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri disebut daerah otonom.
Pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya
merupakan manifestasi dari sistem desentralisasi dalam pemerintahan di suatu
negara. Konsep desentralisasi itu sendiri didalam ilmu administrasi publik
merupakan sebuah pendekatan dan teknik manajemen yang berkenaan dengan fenomena
tentang pendelegasian wewenang dan tanggung jawab (delegation of authority
and responsibility) dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
tingkat yang lebih rendah. Kebijakan desentralisasi menyangkut perubahan hubungan
kekuasaan di berbagai tingkat pemerintahan. Namun terdapat perbedaan pandangan
diantara para ahli tentang pengertian yang tercakup dalam konsep
desentralisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Siedentopf (1987), desentralisasi
adalah suatu istilah yang memiliki pengertian atau konotasi yang berbeda bagi
masyarakat yang berbeda atau bagi masyarakat yang sama dalam situasi atau
konteks yang berbeda. Menurut Bird dan Vaillancort (2000), ada tiga variasi
desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan
yang dilakukan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab
yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah
atau ke pemerintah daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi,
yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan
fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan)
berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga
kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan, berada di daerah.
Beberapa ahli lainnya seperti Siedentopf (1987), Davey (1983), Ichlasul Amal
dan Nasikun (1989), dan Mills (1991) juga menggunakan istilah desentraliasi
untuk pengertian yang luas. Menurut
mereka istilah desentralisasi mencakup baik desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik.
Desentralisasi administratif atau sering disebut
dekonsentrasi adalah pendelegasian sebagian kekuasaan administratif kepada
pejabat-pejabat birokrasi atau aparat pemerintah pusat yang ditempatkan di
lapangan (wilayah). Aparat ini tidak memiliki kekuasaan politik untuk membuat
keputusan atau kebijakan publik. Yang mereka miliki hanya kewenangan
administratif untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di
tingkat pusat. Pejabat-pejabat di lapangan (field administrator) hanya
bekerja atas dasar rencana dan anggaran yang sudah ditentukan oleh pusat. Dalam
dekonsentrasi berarti redistribusi tanggung jawab administratif hanya diantara
badan-badan perwakilan atau agen-agen pemerintah pusat. Karena dekonsentrasi
hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politik, maka
dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang lemah.
Desentralisasi politik atau devolusi berarti
pendelegasian sebagian wewenang dan tanggung jawab membuat keputusan dan
pengendalian atas sumber-sumber daya kepada instansi pemerintah regional yang
memiliki lembaga perwakilan dan memiliki kekuasaan pemerintahan. Devolusi
mempunyai karakteristik dasar tertentu sebagai berikut : (1). Pemerintah setempat (lokal)
bersifat otonom dan secara jelas merasa sebagai tingkatan yang terpisah dimana
penggunaan kewenangan pusat kurang atau tidak langsung, (2). Pemerintah
setempat memiliki batas yang jelas dan diakui secara sah dimana mereka memiliki
kekuasaan dan menyelenggaran fungsi-fungsi publik, (3). Pemerintah setempat
berkedudukan sebagai badan hukum dan memiliki kekuasaan untuk menjamin sumber daya
untuk menyelenggarakan fungsinya, (4). Devolusi mengandung pengertian bahwa
pemerintah setempat adalah institusi yang menyediakan pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat dan memberikan kesempatan kepada mereka
untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah setempat, (5). Didalam devolusi
terdapat hubungan timbal balik, saling menguntungkan dan koordinatif antara
pemerintah pusat dan pemerintah setempat (Siedentopf, 1987).
Dengan demikian menurut pandangan ini desentralisasi
mencakup pemerintahan wilayah administratif dan pemerintahan daerah otonom.
Dalam pemerintahan wilayah administratif ditandai dengan adanya aparat
dan pejabat-pejabat birokrasi pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah
sebagai field administrator. Aparat ini tidak memiliki kekuasaan
politik. Yang mereka miliki hanyalah kewenangan administratif guna melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat pusat. Dalam pemerintahan
daerah otonom ciri utamanya adalah memiliki lembaga perwakilan yang pada
umumnya didasarkan atas pemilihan dan memiliki kekuasaan pemerintahan tingkat
daerah (lembaga eksekutif). Lembaga-lembaga tersebut memiliki kewenangan politik untuk membuat kebijakan
publik.
Seberapa jauh desentralisasi dapat dinilai dengan
jelas, sebagian tergantung pada apakah yang sudah dilakukan lebih bersifat
dekonsentrasi, delegasi, atau devolusi. Hal ini juga tergantung apakah
seseorang mengamatinya dari atas ke bawah (top down) atau dari bawah ke
atas (bottom up) (Bird dalam Bird dan Vaillancort, 2000). Pendekatan
desentralisasi dari bawah ke atas (bottom up) umumnya menekankan nilai
politis, misalnya perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan
menerima saran dan partisipasi politik lokal, dan efisiensi alokasi dalam arti
perbaikan kesejahteraan. Literatur ilmu politik
sarat dengan alinea-alinea yang mengangkat manfaat dan kebaikan-kebaikan
desentralisasi. Desentralisasi tidak hanya menghasilkan pengadaan pelayanan
yang efisien dan adil melalui pemanfaatan pengetahuan lokal, tetapi juga akan
merangsang partisipasi demokrasi yang lebih besar. Hasilnya, dukungan yang
lebih luas kepada pemerintah dan memperbaiki stabilitas politik. Bila
kebaikan-kebaikan dan manfaat ini ditambah dengan sisi manfaat yang lain,
seperti peningkatan mobilisasi sumber-sumber dan pengenduran tekanan atas
keuangan pusat, peningkatan akuntabilitas, dan peningkatan ketanggapan serta
tanggung jawab pemerintah secara umum, tidak mengherankan banyak orang
menganggap desentralisasi merupakan sesuatu yang demikian berharga. Lain halnya
bila desentralisasi dilihat prosesnya dari atas ke bawah (top down).
Dari atas ke bawah, dasar pemikiran desentralisasi misalnya meringankan beban
pusat dengan mengalihkan defisit (atau paling tidak sebagian dari tekanan
politis atas defisit) ke bawah, meningkatkan efisiensi manajemen pembangunan,
dan meningkatkan kesejahteraan nasional.
Apapun dasar pemikirannya, pendekatan top down menekankan bahwa kriteria
utama untuk mengevaluasi desentralisasi adalah seberapa baik desentralisasi
dapat membantu tercapainya tujuan-tujuan kebijakan nasional (Bird dan
Vaillancort, 2000).
Mills (1991) mengemukakan bahwa desentralisasi
mempunyai tujuan filosofis dan ideologis dan tujuan pragmatis. Secara
filosofis dan ideologis, desentralisasi
dianggap sebagai tujuan politik yang penting, karena memberikan kesempatan
munculnya partisipasi masyarakat dan kemandirian daerah, dan untuk menjamin
kecermatan pejabat-pejabat pemerintah terhadap masyarakatnya. Dalam tingkat
pragmatis, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk mengatasi berbagai
hambatan institusional, fisik dan administratif
dalam pembangunan. Sebagai
contoh, meningkatnya kontrol daerah dapat menghasilkan respon yang lebih baik
akan kebutuhan masyarakat, meningkatkan pengelolaan sumber daya dan logistik,
dan meningkatkan motivasi pejabat-pejabat lokal. Dengan demikian desentralisasi dapat
mendukung dan memacu pelaksanaan pembangunan. Desentralisasi juga dilihat
sebagai suatu cara untuk mengalihkan beberapa tanggung jawab pembangunan dari
pusat ke daerah. Dalam suatu negara yang
mempunyai keanekaragaman daerah, terkadang timbul pertentangan antar berbagai
kelompok penduduk, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk memberi otonomi
yang lebih besar tanpa meninggalkan kesatuan nasional.
Berbeda dengan pandangan para ahli dimuka,
pengertian yang dirumuskan dalam undang-undang yang mengatur tentang
pemerintahan daerah yang pernah berlaku (UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1
Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun
1999) dan yang sekarang berlaku di Indonesia (UU Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 tahun 2005) memandang desentralisasi
hanya mencakup devolusi atau desentralisasi politik saja. Sedangkan
desentralisasi administratif (dekonsentrasi) berada dalam posisi yang berbeda
dan tidak bermakna desentralisasi. Dekonsentrasi tidak lain merupakan sharing
kekuasaan diantara para pejabat atau aparat pemerintah pusat yang hanya berbeda
dalam tempat tugas saja. Pihak yang mendelegasikan kekuasaannya bertugas di
pusat pemerintahan sedangkan yang menerima kekuasaan yang didelegasikan tersebut
bertugas di daerah.
Desentralisasi dalam sistem pemerintahan di
Indonesia mengacu kepada pembentukan suatu area yang disebut daerah otonom yang
akan merupakan tempat atau lingkup dimana kewenangan yang diserahkan dari pusat
akan diatur, diurus dan dilaksanakan. Daerah otonom tersebut berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Urusan-urusan tersebut mula-mula
sebagai urusan pemerintah pusat, kemudian setelah diserahkan kepada daerah
menjadi urusan daerah yang sifatnya otonom. Dengan demikian, otonomi daerah
adalah bersumber dari desentralisasi tetapi desentralisasi tidaklah selalu
mengacu pada otonomi. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi adalah ”the
legal self sufficiency of social body and its actual independence”. Jadi ada
dua ciri hakekat otonomi yaitu “legal self sufficiency” dan “actual
independence”. Dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan, menurut
Encyclopedia Britanica, otonomi adalah “self government the condition of
living under one’s own laws”. Dengan demikian otonomi lebih menitik
beratkan pada aspirasi daripada kondisi (Baharuddin Tjenreng, 1990). Pemberian
otonomi daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan pada prinsip
demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memeperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun mengenai tolok ukur otonomi suatu
daerah terdapat perbedaan interpretasi dari satu sistem pemerintahan dengan
sistem pemerintahan lainnya, walaupun upaya mencari faktor-faktor yang
dijadikan tolok ukur tingkat otonomi suatu daerah telah lama dilakukan.
Tinjauan teoritis: pandangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah.
Konsep desentralisasi sering
dibahas dalam konteks pembahasan mengenai sistem penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir setiap negara bangsa (nation
state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Walaupun demikian, desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri,
melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar.
Suatu negara bangsa menganut
desentralisasi bukan pula merupakan alternatif dari sentralisasi, karena antara
desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat
dikotomis, melainkan merupakan sub - sub sistem dalam kerangka sistem
organisasi negara. Karenanya suatu negara bangsa merupakan genus dari species
desentralisasi dan sentralisasi. Akan tetapi, pengertian desentralisasi
tersebut sering dikacaukan (interchangeably) dengan istilah - istilah
lainnya, seperti decenralization, devolution, deconcentration, desentralisasi
politik (political decentralization), desentralisasi administratif (adminisrative
decentralization), desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie),
desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie), desentralisasi fungsional,
otonomi dan medebewind, dan sebagainya. Berbagai definisi tentang
desentralisasi dan otonomi telah banyak dikemukakan oleh para penulis yang
sudah barang tentu pada umumnya didasarkan pada sudut pandang yang berbeda.
Walaupun begitu, beberapa
batasan perlu diajukan sebagai bahan
perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar
tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi dari politik
desentralisasi. Salah satu batasan tentang desentralisasi yang sering
dibahas adalah: “decentralization
refers to the transfer of authority away from the national capital whether by
deconcentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution
to local authorities or local bodies”
Batasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan proses penyerahan wewenang dari
pusat kepada organ di daerah melalui dua cara, yaitu melalui deconcentration
atau devolution. Kalau deconcentration melalui delegasi
kekuasaan kepada pejabat - pejabatnya di daerah, sedangkan devolution kepada
badan - badan politik di daerah yang disebut pemerintah daerah. Disini, tidak
dijelaskan isi dan keluasan kewenangan tersebut serta konsekuensi-konsekuensi
apa penyerahan itu bagi organ - organ di daerah, karena itu adalah
kompetensinya politik desentralisasi. Batasan itu lebih memfokuskan
kepada bentuk - bentuk atau macam - macam decentralization. There are two
principal forms of decentralization of governmental powers and functions are
deconcentration to area offices of administration and devolution to state and
local authorities. Yang dimaksud dengan area offices of administration adalah
suatu perangkat wilayah yang berada di luar kantor pusat. Kepada pejabatnya
oleh departemen pusat dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu
yang bertindak sebagai perwakilan departemen pusat untuk melaksanakan fungsi
bidang tertentu yang bersifat administratif tanpa menerima penyerahan penuh
kekuasaan (final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada
departemen pusat (the arrangement is administrative in nature and implies no
transfer of final authority from the ministry, whose responsibility continues).
Jadi, hal ini berbeda dengan devolution, dimana sebagian kekuasaan yang
diserahkan kepada badan politik di daerah itu merupakan kekuasaan penuh untuk
mengambil keputusan, baik secara politik maupun administrasi. Sifatnya adalah
penyerahan nyata berupa fungsi dan kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan.
Dengan demikian bentuk devolution merupakan type of arrangement
having a political as well as an administrative character.
Dalam kenyatannya memang ada dua bentuk decentralization, yaitu
yang bersifat administatif (administative decentralization) dan yang
bersifat politik (political decentralization). Desentralisasi
administratif adalah suatu delegasi wewenang pelaksanaan yang diberikan
kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Para pejabat tersebut bekerja dalam batas - batas rencana dan
sumber pembiayaan yang sudah ditentukan, namun juga memiliki keleluasaan,
kewenangan dan tanggung jawab tertentu dalam mengembangkan kebijaksanaan
pemberian jasa dan pelayanan di tingkat lokal. Kewenangan itu bervariasi, mulai
dari penetapan peraturan-peraturan yang sifatnya pro - forma sampai kepada
keputusan - keputusan yang lebih substansial. Sedangkan desentralisasi
politik, yaitu wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap
sumber - sumber daya yang diberikan kepada badan - badan pemerintah regional
dan lokal.
Pengertian ini lebih menekankan kepada dampak atau konsekuensi penyerahan
wewenang untuk mengambil keputusan dan kontrol oleh badan - badan otonom daerah
yang menuju kepada pemberdayaan (empowerment) kapasitas lokal. Yang
perlu menjadi perhatian disini adalah, bahwa desentralisasi, baik secara
politik maupun administrasi merupakan
salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal, dimana kekuasaan dan
pengaruh cendurung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan lokal diserahi
tanggung jawab dan sumber daya, kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan
meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah lokal semata - mata hanya ditugaskan
untuk mengikuti kebijakan nasional, maka para pemuka dan warga masyarakat akan
mempunyai investasi kecil saja di dalamnya. Akan tetapi, jika suatu unit lokal
diberi kesempatan untuk meningkatkan kekuasaannya, kekuasaan pada tingkat
nasional tidak dengan sendirinya akan menyusut. Pemerintah Pusat malah mungkin
memperoleh respek dan kepercayaan karena menyerahkan proyek dan sumber daya
kepada unit lokal, dan dengan demikian akan meningkatkan pengaruh serta
legitimasinya.
Dengan demikian, Konsep desentralisasi yang menekankan kepada salah satu
cara untuk memberdayakan kapasitas lokal, dapat didjadikan titik tolak
pemikiran dalam rangka mengembangkan penyelenggaraaan otonomi daerah di
Indonesia, terutama untuk mempengaruhi elit birokrasi dan pengambil keputusan
di pusat yang nampaknya belum sepenuh hati rela menyerahkan berbagai kewenangan
dan sumber daya kepada daerah, karena kekhawatiran timbulnya disintegrasi dalam
pelaksanaan otonomi daerah, yang sesungguhnya hal itu dikarenakan “konflik
kepentingan” antara individu-individu di
Pusat dan Daerah. Kalau ada orang yang berpendapat bahwa pemberian otonomi
kepada daerah dapat menimbulkan disintegrasi dan karenanya harus diwaspadai,
saya justru berpendapat sebaliknya, bahwa hak - hak dan kewenangan otonomi
daerah yang ditahan - tahan, jutru akan menimbulkan “disintegrasi”, resistensi
dan pembangkangan daerah terhadap pusat, bahkan kebanyakan orang sekarang
mempersoalkan kapan dan bagaimana peletakkan otonomi pada daerah tingkat lokal
itu akan dilaksanakan, bukan mepersoalkan kekhawatiran disintegrasi.
Sejalan dengan pendapat
Bryant, Rondinelli (1988) lebih luas memaparkan konsep decentralization dengan
memberikan batasan sebagai berfikut:
“the transfer of
planning, decision making, or administrative authority from the central
government to its field organizations, local adminisrative units,
semi-autonomous and parastatal organizations, local government, or non
-governmental organizations.”
Dengan batasan ini, Rondinelli membedakan 4 (empat) bentuk
decentralization, yaitu: deconcentration; delegation to semi - autonomous
and parastatal agencies; devolution to local government; and non - governmental
institutions. Dengan demikian,
keempat bentuk decentralization ini merupakan species dari genus
decentralization.
Menurutnya, decentralization
dalam bentuk deconcentration, sebagai bentuk pertama, pada hakekatnya hanya
merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara
departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan. Pendapat ini tidak
berbeda dengan pendapat Bryant. Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dan
tanggung jawab yang diberikan lebih banyak berupa shifting of workload from
a central government ministry or agency headquarters to its own field staff
located in offices outside of the national capital without transferring to them the authority to make decisions or to
exercise discretion in carrying them out. Oleh karena itu, kalau suatu
sistem pemerintah daerah yang kebijakannya lebih mengutamakan deconcentration
daripada devolution, maka sudah bisa dibayangkan tidak akan mendorong kepada
pemberdayaan masyarakat lokal, karena dalam deconcentration semua keputusan
sudah ditetapkan, baik di pusat maupun di daerah tanpa mengikutsertakan
masyarakat lokal.
Bentuk yang kedua tidak akan saya bahas, saya akan lebih memfokuskan
kepada bentuk yang ketiga yang ada relevansinya atau setidaknya sebagai
perbandingan dengan kebijakan desentralisasi di Indonesia, meskipun harus tetap
disesuaikan dengan prinsip - prinsip pembagian kewenangan dan prinsip - prinsip
hubungan pusat – daerah dalam NKRI.
Bentuk ketiga dari decentralization yang lebih relevan dengan
perkembangan politik dan pemerintahan di Indonesia adalah devolution to
local government. Konsekuensi dari devolution ini, Pemerintah pusat
membentuk unit - unit atau badan - badan pemerintahan di luar pemerintah pusat
dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara independen (mandiri).
Ada beberapa karakteristik
bentuk devolution sebagai berikut:
Pertama, unit pemerintahan bersifat otonom, mandiri
(independent) dan secara tegas terpisah dari tingkat - tingkat
pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya;
Kedua, unit pemerintahaan tersebut diakui
mempunyai batas - batas wilayah yang jelas dan legal, dan mempunyai wewenang
untuk melakukan tugas - tugas umum pemerintahan;
Ketiga, unit pemerintahan daerah tersebut
berstatus sebagai badan hukum dan berwenang mengelola dan memanfaatkan sumber -
sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugas - tugas umum pemerintahan;
Keempat, unit pemerintahan daerah tersebut diakui
oleh warganya sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada
masyarakat guna memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah
ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan terhadap warganya (credibility;
vertrauwen);
Kelima, terdapat hubungan kesetaraan dan saling
menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
serta unit - unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
Dengan memperhatikan ciri -
ciri karakteristik tersebut, nampaknya ada beberapa hal kemiripan kebijakan
desentralisasi yang sedang dilancarkan di Indonesia, terutama dalam Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun dalam beberapa hal masih terdapat perbedaan,
misalnya kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya nasional, bagi
daerah di Indonesia masih sangat terbatas. Kalau kita bandingkan dengan sistem
di Indonesia, ciri - ciri Kesatu dan Ketiga, boleh dikatakan mirip
dengan Indonesia, namun ciri yang Keempat adalah justru menjadi
“tantangan” bagi pemerintah daerah di Indonesia pada umumnya, oleh karena kita
masih melihat bahwa segala keinginan atau tuntutan masyarakat seringkali tidak
diajukan kepada pemerintah daerah setempat, melainkan langsung ke Pusat karena
kurangnya “keterpercayaan” terhadap pemerintah daerah setempat yang
dipandangnya tidak bakalan dapat
menyelesaikan permasalahan di daerah.
Sedangkan ciri yang Kelima, justru kita tidak memiliki kesetaraan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, karena prinsip
desentralisasi yang dianut dalam NKRI, bahwa kedudukan pemerintah daerah
adalah “tergantung” (dependent) dan karenanya Pemerintah Daerah berada
“dibawah” (subordinated) Pemerintah Pusat, sehingga prinsip ini tidak
sejalan dengan prinsip hubungan pusat – daerah dalam NKRI.
Konsep decentralization ini
didasarkan kepada adanya perhatian yang semakin besar untuk memberikan
keleluasaan decentralization dalam kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan dan administrasi yang pada
tahun 1970-an, disebut sebagai the second wave of decentralization, dengan
didorong oleh tiga hal kekuatan
sebagai berikut:
Pertama, melihat kenyataan hasil yang tidak memuaskan
akibat perencanaan pembangunan dan kontrol administrasi secara terpusat yang
berjalan sekitar tahun 1950 dan 1960-an; Kedua, melihat perlunya
dikembangkan cara - cara baru dalam mengelola program dan proyek serta
administrasi pembangunan yang meliputi strategi pertumbuhan dan pemerataan yang
dijalankan selama tahun 1970-an; Ketiga, melihat kenyataan
kehidupan masyarakat semakin kompleks, kegiatan pemerintahan semakin meluas,
sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas apabila semua
perencanaan dan kegiatan pembangunan dipusatkan pada pemerintah pusat.
Dari berbagai batasan dan pengertian yang dikemukakan diatas, ternyata decentralization tidak berdiri
sendiri, melainkan decentralization sebagai genus dan mempunyai species yang
bermacam - macam. Namun Mawhood (1987 : 9) dengan tegas mengatakan bahwa
decentralization adalah devolution of power from central to local governments.
Sementara deconcentration yang dalam hal ini oleh Mawhood telah
dipersamakan dengan administrative decentralization, didefinisikan
sebagai the ransfer of administrative responsibility from central to local
government. Dengan demikian,
Mawhood tidak menjadikan decentralization sebagai genus dengan species devolution
dan deconcentration, melainkan memisahkan antara decentralization dan
deconcentration.
Kalau kita bandingkan dengan
versi kontinental, pada prinsipnya sama mendudukan decentralization sebagai
genus dengan species yang bermacam-macam, hanya dengan istilah yang berbeda.
Menurut versi kontinental, desentralisasi digolongkan menjadi dua, yaitu ambtelijke
decentralisatie dan staatskundige decentralisatie yang dibagi lagi
menjadi territoriale decentralisatie dan functionele decentralisatie. Yang
dimaksud dengan ambtelijke decentralisatie, adalah pemberian
(pemasrahan) kekuasaan dari atas kebawah di dalam rangka kepegawaian, guna
kelancaran pekerjaan semata - mata. Sedangkan yang dimaksud dengan staatskundige
decentralisatie merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di
dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi pemerintahan negara,
sehingga dengan demikian, decentralisatie tsb mempunyai dua wajah, yaitu autonomie
dan medebewind atau zelfbestuur.
Dalam hubungan ini, dapat
dipahami bahwa pengertian
decentralisatie sebagai “staatskundige decentralisatie”
(desentralisasi ketatanegaraan) merupakan pelimpahan kekuasaan pemerintahan
dari pusat kepada daerah - daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri
(daerah - daerah otonom). Desentralisasi ini adalah sistem untuk mewujudkan
asas demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam
proses penyelenggaraan kekuasaan negara.
Menurut konsep ini,
desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam: Pertama, dekonsentrasi (deconcentration)
atau ambtelijke decentralisatie adalah pelimpahan kekuasaan dari
alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan
pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat tidak
diikut sertakan; Kedua, desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige
decentralisatie) atau juga disebut “desentralisasi politik” (politieke
decentralisatie) adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende
en bestuurende bevoegheid) kepada daerah - daerah otonom di dalam
lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik atau ketatanegaraan ini, rakyat
dengan mempergunakan berbagai saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam
pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) ini
dibagi lagi menjadi dua macam: a) desentralisasi teritorial (territoriale
decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah masing - masing (otonom); b) desentralisasi fungsional (functionele
decentralisatie), yaitu pelimpahan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan
tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan -
kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongan - golongan yang bersangkutan
sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hubungan ini hanyalah memberikan pengesahan
atas segala sesuatu yang telah
ditetapkan oleh golongan-golongan kepentingan tersebut. Kedua pandangan ini
membagi desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) menjadi
dua macam, yaitu: otonomi (autonomie) dan medebewind atau zelfbestuur.
Otonomi berarti pengundangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi,
menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain berarti
perundangan (wetgeving), juga berarti pemerintahan (bestuur).
Seperti dikatakan C.W. van der Pot bahwa autonomie betekent anders dan het
woord zou doen vermoeden-regeling en
bestuur van eigen zaken, van het de Grondwet noemt, eigen
huishouding. Hal ini berbeda dengan pendapat J.J. Schrieke yang mengatakan
bahwa autonomie adalah eigen meesterschap, zelfstandigheid, dan bukan onafhankelijkheid.
Dengan diberikannya hak dan
kekuasaan perundangan/ pengaturan dan pemerintahan kepada badan - badan otonom,
seperti propinsi, kotamadya dan
seterusnya, badan - badan tersebut dengan initiatifnya sendiri dapat
mengurus rumah tangganya dengan jalan mengadakan peraturan - peraturan daerah
yang tidak boleh bertentangan dengan Undang - Undang dasar atau perundang -
undangan lainnya yang tingkatnya lebih tinggi, dan dengan jalan
menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan demikian, adalah kurang tepat kalau
dikatakan bahwa otonomi dan medebewind (tugas pembantuan) sebagaimana ditegaskan
dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah asas penyelenggaraan dalam
pemerintahan daerah. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan
otonomi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah “misleading” dan
dikhawatirkan akan menyesatkan, baik ditinjau dari perspektif akademik, maupun
dari tataran operasional. Karena, otonomi adalah hak, wewenang dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan
perkataan lain, otonomi itu merupakan manifestasi atau perwujudan kewenangan
yang diberikan (“toekennen”) oleh pemerintah pusat, sebagai konsekuensi
dianutnya asas desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) sebagai
suatu sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Kalau dikatakan, bahwa otonomi
itu bermakna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan
kemerdekaan (onafhankelijkheid), maka di dalamnya terkandung dua aspek
utama, Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan suatu
urusan; Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan dan
menetapkan sendiri cara - cara penyelesaian tugas tersebut.
Dengan demikian, otonomi dapat
diartikan sebagai kesempatan untuk menggunakan prakarsa sendiri atas segala
macam nilai yang dikuasai untuk mengurus kepentingan umum (penduduk). Kebebasan
yang terbatas atau kemandirian itu merupakan wujud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggungjawabkan.
Kemudian mengenai medebewind
atau zelfbestuur, diartikan sebagai pemberian kemungkinan kepada
pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk minta
bantuan kepada pemerintah daerah/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih
rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan pemerintah pusat atau rumah
tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas) tersebut. Istilah zelfbestuur adalah
terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris diartikan sebagai segala
kegiatan pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh wakil -
wakil dari yang diperintah. Di Belanda medebewind atau zelfbestuur diartikan sebagai
pembantu penyelenggaraan kepentingan - kepentingan dari pusat atau daerah -
daerah yang tingkatannya lebih atas oleh alat - alat perlengkapan daerah yang
lebih bawah. Dalam menjalankan tugas - tugas medebewind, urusan - urusan
yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat
cq daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah
yang dimintakan bantuan. Akan tetapi, bagaimana cara daerah otonom yang
dimintakan bantuan itu, dalam melakukan bantuannya itu diserahkan sepenuhnya
kepada daerah itu sendiri. Daerah otonom yang diminta bantuan itu tidak berada
di bawah perintah dari dan tidak pula dapat diminta pertanggungjawaban oleh
pemerintah pusat/ daerah yang lebih tinggi. Selanjutnya dikatakan, bahwa
“Jika ternyata ada daerah yang tidak menjalankan tugas bantuannya atau tidak
begitu baik melakukan tugasnya, sebagai sanksinya pemerintah pusat/ daerah yang
minta bantuan hanya dapat menghentikan perbuatan dari daerah yang dimintakan
bantuan, untuk selanjutnya dipertimbangkan tentang pelaksanaan kepentingan
atasan termaksud dengan jalan lain, dengan tidak mengurangi hak pemerintah
pusat/ daerah yang minta bantuan untuk menuntut kerugian dari daerah yang
melalaikan kewajibannya.”
Berbeda dengan konsep medebewind
menurut versi Indonesia yang menurut Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999
disebut dengan tugas pembantuan, yaitu suatu penugasan dari pemerintah
kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu, disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Jadi, antara
yang menugaskan (pemerintah pusat) dan yang ditugaskan ada hubungan sub -
ordinasi, karena yang ditugaskan berkewajiban untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkannya. Pengertian tugas pembantuan versi Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 menurut pandangan saya adalah keliru, karena kalau
itu rumusannya berarti “dekonsentrasi” bukan tugas pembantuan, karena dalam
konsep itu pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia,
semuanya disediakan oleh pemerintah pusat. Padahal, di dalam konsep tugas
pembantuan yang perlu disediakan oleh pemerintah pusat adalah hanya pembiayaan,
sedangkan peralatan dan personil justru merupakan kewajiban pemerintah daerah
dalam upaya membantu pelaksanaan tugas tertentu dari pemerintah pusat atau pem
erintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan menyimak berbagai
batasan dan pengertian desentralisasi seperti diuraikan diatas, saya dapat
menyimpulkan bahwa sebagian besar melihat karena kecendurungan sentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka dilancarkan ide desentralisasi
dengan berbagai corak dan bentuknya. Seperti ditegaskan dalam tulisan Syarif
Hidayat (2001 : 27-28) bahwa secara prinsipal, dapat dikatakan bahwa lahirnya
ide desentralisasi merupakan sebuah “anti - thesa” dari sentralisasi. Padahal,
seperti telah disinggung dimuka, bahwa desentralisasi bukan merupakan sistem
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem
yang lebih besar, yaitu negara bangsa (nation state). Dengan perkataan
lain, walaupun suatu negara bangsa menganut asas desentralisasi, namun tidak
semua urusan kewenangan diserahkan kepada daerah otonom, melainkan ada bagian -
bagian urusan tertentu yang tetap dikelola secara sentral (terpusat).
Karenanya, menurut pandangan saya suatu negara bangsa menganut desentralisasi
bukan merupakan alternatif dari sentralisasi, karena antara desentralisasi
dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis,
melainkan merupakan sub - sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara.
Karenanya pula, suatu negara bangsa merupakan genusnya, sedangkan sentralisasi,
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan speciesnya.
Masalahnya, bagaimana mencari keseimbangan diantara species tersebut.
Sejarah
ketatanegaraan Indonesia mencatat upaya yang terus-menerus mencari “titik -
keseimbangan” yang tepat dalam meletakkan bobot desentralisasi dan
sentralisasi. Terjadi pergeseran antara “dua kutub nilai”, yaitu “nilai
pembangunan bangsa dan integritas nasional” disatu pihak yang menekankan
pentingnya “sentralisasi”, sehingga akan mewujudkan nilai dan bentuk
“sentripetal”, dan dilain pihak menekankan “nilai desentralisasi dan otonomi
daerah” yang akan melahirkan nilai dan bentuk “sentrifugal”, dan pergeseran
kedua nilai ini terus - menerus menjadi dilema. Respons juridis - formal
terhadap dilemma ini bervariasi dari waktu ke waktu, tergantung kepada
konfigurasi - politik pada suatu waktu
BAB
IV
PENUTUP
Dari perspektif administrasi publik sentralisasi dan/ atau desentralisasi
adalah merupakan teknik manajemen. Efektivitasnya untuk mengatur dan mengatasi
permasalahan pada tataran empirik sangat tergantung pada ketepatan penerapannya.
Penerapan model desentralisasi dalam pengaturan pemerintahan di Indonesia
menjadi sumber adanya otonomi daerah. Salah satu filosofi dari otonomi daerah
adalah semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam negara kesatuan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan
satu kesatuan, walaupun memiliki tugas yang berbeda. Disamping itu dalam sistem
pemerintahan negara kesatuan tidak akan mungkin terdapat baik otonomi penuh
pada tingkat daerah maupun sentralisasi penuh
melalui pengaturan pemerintah pusat. Otonomi daerah semestinya dapat
membuat masyarakat meningkat kesejahteraannya. Hal itu tidak berlebihan karena
dengan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah (kota dan kabupaten) dapat
lebih sensitif terhadap persoalan yang ada di daerahnya. Namun demikian
profesionalitas para penyelenggara pemerintahan merupakan salah satu variabel
yang tidak bisa dinihilkan pengaruhnya terhadap efektivitas otonomi daerah.
Apabila otonomi daerah dijadikan lahan basah bagi elit daerah untuk kepentingan
diri dan kelompoknya maka cita-cita menyejahterakan masyarakat melalui otonomi
daerah akan bertepuk sebelah tangan dan bagaikan api yang jauh dari panggang.
Daftar Pustaka
Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid. 1999.
“Otonomi dan Federalisme” dalam St. Sularto dan T Jakob Koekerits (penyunting).
Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta : Kompas.
Baharuddin Tjenreng, 1990. “Masalah Hak Mengatur dan
Mengurus Rumah Tangga Sendiri Dalam Otonomi Daerah Bertingkat” dalam Kumpulan Makalah Seminar Terbatas Tentang
Otonomi Daerah. Jakarta : Balitbang Depdagri.
Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois. 2000.
“Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang : Tinjuan Umum” dalam Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois
(penyunting). Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Terjemahan
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Davey, Kenneth J. 1988. Pembiayaan Pemerintah
Daerah Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga.
Terjemahan Aminullah dkk. Jakarta : UI Press.
Herman Haeruman. 1999. Strategi Pelaksanaan Otonomi
Daerah Dalam Berbagai Perspektif. Makalah Seminar Nasional “ Otonomi Daerah
Dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis”, 7 Desember 1999, Yogyakarta : FE UPN
Veteran.
Ichlasul Amal dan Nasikun. 1990. “Desentralisasi dan
Prospeknya : Pelajaran dari PPW” dalam Pengalaman PPW dan Strategi
Pembangunan Pedesaan di Indonesia. Yogyakarta : P3PK UGM.
Mills, Anne. 1991.
“Isu dan Konsep Desentralisasi”, dalam Anne Mills dkk. (editor). Desentralisasi
Sistem Pelayananan Kesehatan, terjemahan Laksono Trisnantoro. Yogyakarta :
Gadjah Mada Press.
Muchsan. 1999. Kajian Yuridis Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Otonomi Yang Seluas-luasnya. Makalah Seminar Nasional “
Otonomi Daerah Dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis”, 7 Desember 1999,
Yogyakarta : FE UPN Veteran.
Siedentopf, Heinrich. 1987. “Decentralization for
Rural Development : Government Approaches and People’s Initiatives in Asia and
the Pacific”. Building from Below Local Initiatives for Decentralized
Development in Asia and Pacific. Vol. 1. Kuala Lumpur : Asian and Pacific
Development Centre.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi undang-Undang.www.makmurjayayahya.com
https://www.makmurjayayahya.com/2017/03/desentralisasi.html
Posting Komentar untuk "DESENTRALISASI"