Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Welcome in Law Office Makmur Jaya, S.Kep., S.H., M.H. & Partners
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Adv. Makmur Jaya, S.Kep., S.H., M.H. & Rekan )
DEWAN PIMPINAN DAERAH FEDERASI ADVOKAT REPUBLIK INDONESIA (FERARI) PROV. JAWA BARAT
SIDANG PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

Memahami Kumulasi Gugatan antara Wanprestasi & Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia


makmurjayayahya.com - Penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan disebut dengan kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering, yaitu Penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Kumulasi gugatan antara wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) telah sekian lama menjadi isu penting dalam praktik yudisial. Di satu sisi terdapat pandangan yang menyatakan bahwa perbedaan pengaturan norma antara wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata) dan Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), sehingga kumulasi keduanya dalam satu gugatan tidak dapat dibenarkan. Pandangan ini merupakan pendirian yang paling dominan diikuti sebagaimana tergambar dari sejumlah putusan, misalnya Putusan Nomor 1875 K/Pdt/1984 pada tanggal 24 April 1986, Putusan Nomor 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001 dan Putusan Kasasi Nomor 1330 K/Pdt/2017.

Dalam hukum perdata, pengajuan Gugatan dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu Gugatan Wanprestasi atas dasar perjanjian dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas dasar hukum. Dalam praktiknya, gugatan perbuatan melawan hukum terjadi jika antara para pihak yang berseteru tidak memiliki hubungan perjanjian. Oleh karena itu, hukum menjamin perlindungan kepada pihak yang dirugikan. Mari kita bahas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagai berikut:

1.    Wanprestasi (Menurut Pasal 1243 KUHPerdata)

Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

Pasal ini bermaksud untuk menjelaskan mengapa seseorang dapat dibebani pembayaran ganti kerugian. Penentuan mulainya penghitungan pembayaran ganti kerugian itu tergantung dari ada tidaknya jangka waktu yang dijadikan patokan untuk kelalaian salah satu pihak.

Berdasarkan pasal ini, ada 2 (dua) cara penentuan titik awal penghitungan ganti kerugian, yaitu sebagai berikut:

  • Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi tetap melalaikannya.
  • Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.

2.    Perbuatan Melawan Hukum disingkat PMH (Menurut Pasal 1365 KUHPerdata)

Setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut. Merujuk dari penjelasan ini, terdapat 4 (empat) unsur yang harus dibuktikan keberadaannya jika ingin menggugat berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:

§    Perbuatan Melawan Hukum. 

    Unsur ini menekankan pada tindakan seseorang yang dinilai melanggar kaidah hukum yang berlaku di masyarakat. Sejak tahun 1919, pengertian dari kata “hukum” diperluas yaitu bukan hanya perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga setiap perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.[1] Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang dianggap melawan hukum bukan hanya didasarkan pada kaidah-kaidah hukum tertulis, tetapi juga kaidah hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat, seperti asas kepatutan atau asas kesusilaan.

§    Kesalahan

Menurut ahli hukum perdata Rutten menyatakan bahwa setiap akibat dari perbuatan melawan hukum tidak bisa dimintai pertanggungjawaban jika tidak terdapat unsur kesalahan.[2] Unsur kesalahan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kesalahan karena kekurang hati-hatian atau kealpaan. Dalam hukum perdata, baik kesalahan atas dasar kesengajaan ataupun kekurang hati-hatian memiliki akibat hukum yang sama. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 1365 KUHPerdata perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan karena kurang hati-hati atau kealpaan memiliki akibat hukum yang sama, yaitu pelaku tetap bertanggung jawab mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan dari Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukannya.[3] Contohnya seorang pengendara mobil menabrak pejalan kaki dan mengakibatkan pejalan kaki tersebut pingsan. Atas hal tersebut baik terhadap pengendara yang memang sengaja menabrak pejalan kaki tersebut ataupun lalai misalnya karena mengantuk, tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami pejalan kaki tersebut.

§    Kerugian

Kerugian dalam hukum perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yakni kerugian materil dan/atau kerugian immateril. Kerugian materil adalah kerugian yang secara nyata diderita. Adapun yang dimaksud dengan kerugian immateril adalah kerugian atas manfaat atau keuntungan yang mungkin diterima di kemudian hari. Pada praktiknya, pemenuhan tuntutan kerugian immateril diserahkan kepada hakim, hal ini yang kemudian membuat kesulitan dalam menentukan besaran kerugian immateril yang akan dikabulkan karena tolak ukurnya diserahkan kepada subjektifitas Hakim yang memutus.

§   Hubungan kausal antara Perbuatan Melawan Hukum oleh pelaku & kerugian yang dialami korban.

     Ajaran kausalitas dalam hukum perdata adalah untuk meneliti hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban.[5] Unsur ini ingin menegaskan bahwa sebelum meminta pertanggungjawaban perlu dibuktikan terlebih dahulu hubungan sebab-akibat dari pelaku kepada korban. Hubungan ini menyangkut pada kerugian yang dialami oleh korban merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku. Dapat disimpulkan, penggugat yang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum wajib membuktikan keempat syarat tersebut. Apabila salah satunya tidak terpenuhi, gugatan akan ditolak. Akan tetapi, penyelesaian permasalahan secara musyawarah lebih baik daripada pengajuan perkara ke pengadilan. Hal ini dikarenakan pengajuan ke pengadilan akan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit serta hal yang diajukan juga belum tentu akan dikabulkan.

Dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada berbagai macam gugatan yang tidak boleh dicampur adukkan yang memiliki arti bahwa seorang penggugat tidak cukup meminta peradilan begitu saja, melainkan ia harus mengutarakan (stellen) dan apabila perlu, membuktikan suatu pelanggaran dari pasal tertentu dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau undang-undang lain, dan juga ia harus menentukan semula apa yang ia minta, yaitu misalnya: penyerahan suatu barang tertentu, atau pengosongan suatu bangunan atau pembayaran ganti kerugian berwujud uang atau berwujud lain, atau suatu perbuatan tertentu, atau larangan melakukan suatu perbuatan tertentu yang tergugat juga belum pernah melakukan tetapi akan melakukan, kalau tidak dilarang. Hukum positif di Indonesia tidak mengatur tentang kumulasi gugatan perdata. Meskipun tidak diatur dalam hukum positif namun peradilan sudah lama menerapkan kumulasi gugatan. Soepomo menunjukkan salah satu putusan Raad Justisie Jakarta pada tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan kumulasi gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu terdapat hubungan erat (innerlijk samnehang). Pendapat yang sama ditegaskan dalam Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983 yang menjelaskan antara lain:

  1. Meskipun Pasal 393 ayat (1) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid, dimungkinkan menerapkan lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman kepada ukuran: a. Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan b. Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan.
  2. Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan kumulasi (samenvoeging) atau kumulasi objektif maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat diantaranya.

Prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan sendiri dalam surat gugatan yang terpisah secara tersendiri, dan diperiksa serta diputus dalam proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan berdiri sendiri. Penggabungan gugatan dalam satu surat gugatan diperbolehkan apabila antara satu gugatan dengan gugatan yang lain terdapat satu hubungan yang erat. Penggabungan gugatan yang mempunyai hubungan erat dapat mempermudah proses persidangan dan menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan. Penggabungan gugatan disebut juga sebagai kumulasi gugatan (samenveoging van wordering). Penggabungan gugatan terdiri dari kumulasi subyektif yaitu terdapat beberapa orang tergugat atau beberapa orang penggugat dalam satu gugatan dan kumulasi obyektif yaitu lebih dari satu tuntutan hukum dalam satu gugatan sekaligus. Melalui penggabungan gugatan, beberapa gugatan dapat diperiksa, diputus, dan diselesaikan sekaligus sehingga prosesnya menjadi sederhana, biaya selama proses persidangan lebih murah, serta tidak banyak membuang waktu dan tenaga. Selain itu juga dapat menghindari putusan yang saling bertentangan antara masing-masing hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Penggabungan gugatan sebenarnya tidak diatur dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR), Rechtsreglement voor de Buitengeswesten (RBg), maupun Reglement Inlandsch Bergerlijk Rechtsvordering (Rv). Pasal 103 Rv hanya melarang kumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik (eigendom). Kumulasi gugatan telah diterapkan dalam praktik peradilan di Indonesia, meskipun HIR, RBg, maupun Rv tidak mengaturnya secara tegas. Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanpestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum dalam satu surat gugat, dimana gugatan yang diajukan merupakan gugatan perbuatan melawan hukum, namun dalam dalil gugatannya menjelaskan mengenai wanprestasi.

Ada 2 (dua) contoh Yurisprudensi Amar Putusan yang berbeda Gugatan Wanprestasi atas dasar perjanjian dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas dasar hukum yakni Putusan Kasasi Nomor 886 K/Pdt/2007 yang mengabulkan kumulasi gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, sedangkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1330 K/Pdt/2017 menyatakan kumulasi gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Penggabungan Gugatan Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) dapat dibuat dalam satu gugatan dengan syarat terdapat hubungan erat dan terdapat pemisahan yang jelas antara keduanya. Pertimbangan Hakim Agung pada putusan Kasasi Nomor 1330 K/Pdt/2017, hakim menolak gugatan penggugat karena hakim menilai petitum penggugat tidak jelas (Obscuur Libel). Sedangkan dalam putusan Kasasi Nomor 886 K/Pdt/2007 Hakim Agung mengabulkan gugatan penggugat karena hakim menilai bahwa terdapat hubungan erat antara wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum serta ada Pemisahan Jelas antara Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum di dalam Posita Gugatannya.


Dasar Hukum:
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  • Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1330 K/Pdt.Sus-Phi/2017 Tanggal 20 Nopember  2017 - PT. Champ Resto Indonesia Vs 1. Cholid Sayuti, Dkk.
  • Putusan Kasasi  Mahkamah Agung Nomor 886 K/Pdt/2007 

Sumber:

  • Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Cetakan I, Bandung: Mandar Maju,   2000.
  • Soepomo dalam Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan  Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
  • Yolanda Feberta Savitri, Jurnal Verstek , Bagian Hukum Acara Universitas Sebelas Maret Vol. 9 No. 1 (Januari – April 2021).
  • Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume 3-Nomor 2, Mei 2016.
  • M.A.Moegni Djojodordjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1997)
  • Leonora Bakarbessy, Ghansham Anand, Buku Ajar Hukum Perikatan (Surabaya: Zifatama Jawara
  • Bimo Prasetio, Di Mana Pengaturan kerugian Konsekuensial dalam Hukum Indonesia?, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4da27259c45b9/di-mana-pengaturan-kerugian-konsekuensial-dalam-hukum-indonesia-/ (diakses pada 7 Januari 2021).
  • Sri Redjeki Slamet, Tuntutan Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan Dengan Wanprestasi, Lex Jurnalica, Volume 10-Nomor 2, Agustus 2013




1 komentar untuk "Memahami Kumulasi Gugatan antara Wanprestasi & Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia"

Menyalinkode AMP