Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagaimana penerapan Pasal penipuan dalam KUHP baru di Pasal 492 dan Pasal penggelapan pada Pasal 486 UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP Nasional

  

makmurjayayahya.com – Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1 Januari tahun 1918 atau 107 tahun lalu oleh penjajah menerapkan KUHP di seluruh wilayah Nusantara dan Pasca Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, KUHP tetap diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht tetap berlaku sebagai hukum pidana nasional dengan beberapa penyesuaian.

Hingga pada 2 Januari 2023 secara resmi disahkan KUHP nasional terbaru melalui UndangUndang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Pemberlakuan KUHP nasional ini menjadi catatan bersejarah bagi sistem hukum pidana di Indonesia. KUHP nasional akan menggantikan produk hukum pidana warisan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht-WvS) yang telah berusia lebih dari satu abad. Penerapan KUHP nasional akan menyuguhkan perubahan mendasar, baik dalam filosofi, materi, serta prosedur hukum pidana.

Setiap aparat penegak hukum baik Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat hingga Petugas Pemasyarakatan wajib memiliki pemahaman mendalam terhadap regulasi baru.

Adanya pemahaman di antara aparat penegak hukum ini sebuah keharusan mendesak untuk menjamin keadilan, kepastian hukum, dan transformasi sistem peradilan pidana di Indonesia.

Undang-undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan berlaku pada efektif 2 Januari 2026. KUHP baru disahkan pada 2 Januari 2023 melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, tetapi baru akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026. Pengesahan ini dilakukan oleh Presiden Joko Widodo setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP disetujui oleh DPR RI pada 6 Desember 2022. Tanggal pengesahan: 2 Januari 2023 dan tanggal mulai berlaku efektif  pada  2 Januari 2026. Alasan penundaan KUHP ini: Pemberlakuan yang ditunda selama tiga tahun bertujuan untuk memberikan waktu bagi sosialisasi dan pelatihan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan KUHP baru secara efektif. Kita akan mempelajari beberapa Pasal dalam KUHP Nasional dengan tema Bagaimana Pasal penipuan dalam KUHP baru Pasal 492 UU No. 1 Tahun 2023, dan Pasal penggelapan adalah Pasal 486 UU No. 1 Tahun 2023

Kedua pasal ini akan berlaku efektif pada 2 Januari tahun 2026, menggantikan Pasal 378 KUHP (penipuan) dan Pasal 372 KUHP (penggelapan) yang masih berlaku saat ini.

Pemberlakuan KUHP baru akan mengatur tindak pidana "tipu gelap" di Pasal 492 KUHP (tentang penipuan) dan Pasal 486 KUHP (tentang penggelapan), yang menggantikan pasal-pasal serupa dalam KUHP lama. Pasal 492 KUHP baru mengatur penipuan yang dilakukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggunakan nama palsu, kedudukan palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan. Sementara itu, Pasal 486 KUHP baru mengatur penggelapan, yaitu memiliki barang milik orang lain secara melawan hukum yang awalnya dikuasai pelaku bukan karena kejahatan.

1. Penipuan

·         Pasal lama: Pasal 378 KUHP

·         Pasal baru: Pasal 492 UU No. 1 Tahun 2023

Pasal 378 KUHP Lama menyatakan:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Unsur-unsur Pasal 378 KUHP tentang penipuan adalah:

  • Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;
  • Memakai nama palsu, martabat palsu, rangkaian kata-kata bohong, atau tipu muslihat;
  • Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang, atau menghapuskan piutang. Ketiga unsur ini harus terpenuhi agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan.

Unsur-unsur Pasal 378 KUHP

  1. Unsur Subjektif: Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum: Pelaku memiliki niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara yang tidak sah.
  2. Unsur Objektif: Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang, atau menghapuskan piutang: Pelaku berhasil menggerakkan korban untuk menyerahkan sesuatu atau melakukan perbuatan hukum tertentu. Melalui cara-cara tertentu: Pembujukan tersebut dilakukan dengan menggunakan: Nama palsu Martabat palsu Rangkaian kata-kata bohong Tipu muslihat

Pasal 492 KUHP Baru menyatakan:

“Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu Barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”

Ancaman hukuman: Pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V. Lihat Pasal 79 KUHP Nasional UU No. 1 Tahun 2023

Unsur – unsur dari Pasal 492 KUHP ini, meliputi :

  • setiap orang
  •  dengan maksud menguntungkan  diri sendiri  atau orang lain  secara  melawan hukum  dengan memakai  nama palsu  atau kedudukan  palsu, menggunakan tipu muslihat  atau  rangkaian  kata  bohong,
  •  menggerakkan orang
  • menyerahkan suatu barang, memberi  utang, membuat  pengakuan  utang,  atau menghapus  piutang

“- setiap orang- “

Yang dimaksud dengan “ setiap orang “ berdasarkan Pasal 145 KUHP adalah  orang perseorangan, termasuk Korporasi.

“ dengan  maksud menguntungkan  diri sendiri  atau orang lain  secara  melawan hukum dengan memakai  nama palsu  atau kedudukan  palsu, menggunakan tipu muslihat  atau  rangkaian  kata  bohong “

Unsur “ dengan maksud “ menunjukkan adanya kesengajaan dengan maksud (oogmerk). Sedangkan yang dimaksud dengan “ melawan hukum “ di sini adalah tidak mempunyai hak untuk menikmati keuntungan itu.

istilah “ dengan maksud “ yang ditempatkan di awal perumusan, berfungsi rangkap yaitu baik sebagai pengganti dari kesengajaan maupun sebagai pernyataan tujuan. Sebagai unsur sengaja, maka si pelaku menyadari / menghendaki suatu keuntungan untuk diri sendiri / orang lain. Bahkan dia juga menyadari ketidakberhakannya atas suatu keuntungan tersebut. Menyadari pula bahwa sarana yang digunakan adalah suatu kebohongan atau merupakan alat untuk memperdayakan, demikian juga ia harus menyadari tentang tindakannya yang berupa menggerakkan tersebut. Dalam fungsinya sebagai tujuan berarti tidak harus selalu menjadi kenyataan keuntungan yang diharapkan itu. Yang penting ialah, adakah ia pada waktu itu mengharapkan suatu keuntungan ?. Unsur bmh secara formal di sini ditujukan kepada menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Secara formal berarti ditentukan secara tegas. Berarti pula harus dibuktikan walaupun mungkin tidak dipersoalkan oleh fihak terdakwa. Dhi harus dibuktikan bahwa si terdakwa / orang lain itu tiada haknya untuk mendapatkan keuntungan yang ia harapkan.

Pengertian “ melawan hukum “ itu sendiri bermacam – macam. Ada mengartikan sebagai “ tanpa hak sendiri “ (zonder eigen recht), “ bertentangan dengan hak orang lain “ (tegen eens anders recht), “ bertentangan dengan hukum obyektif “ (tegen het objectieve recht).

Syarat dari melawan hukum harus selalu dihubungkan dengan alat – alat penggerak (pembujuk) yang dipergunakan. Sebagaimana diketahui melawan hukum berarti bertentangan dengan kepatutan yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Suatu keuntungan bersifat tidak wajar atau tidak patut menurut pergaulan masyarakat dapat terjadi, apabila keuntungan itu diperoleh karena penggunaan alat – alat penggerak atau pembujuk, sebab pada keuntungan itu masih melekat kekurangpatutan dari alat – alat penggerak / pembujuk yang dipergunakan untuk memperoleh keuntungan itu. Jadi ada hubungan kausal antara penggunaan alat – alat penggerak / pembujuk dan keuntungan yang diperoleh. Meskipun keuntungan itu mungkin bersifat wajar, namun apabila diperoleh dengan alat – alat penggerak / pembujuk tersebut diatas, tetap keuntungan itu akan bersifat melawan hukum.

Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum berarti menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak.

Dari beberapa pendapat ahli tersebut diatas, dapatlah diketahui bahwa yang dimaksud dengan  “ secara  melawan hukum “ dalam pasal ini adalah perbuatan yang dilakukan tanpa hak atau perbuatan yang bertentangan dengan kehendak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan, yang dilakukan dengan sarana berupa memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu daya atau rangkaian kata bohong.

Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dalam konteks hukum pidana, unsur PMH adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, perbuatan yang dilakukan di luar batas kewenangan atau kekuasaan, dan perbuatan yang melanggar asas-asas umum hukum.

Kesamaan Unsur Pokok dalam Kedua Pasal

Pasal 378 KUHP Lama dan Pasal 492 KUHP Baru sama-sama mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun keduanya menunjukkan perbedaan signifikan dalam redaksi, cakupan, dan jenis pemidanaan. Secara substansi, kedua pasal tetap memuat unsur pokok berupa adanya maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, serta perbuatan yang dilakukan dengan cara memakai nama atau kedudukan palsu, tipu muslihat, maupun kebohongan, yang menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu atau memberikan keuntungan.

2. Penggelapan

·         Pasal lama: Pasal 372 KUHP

·         Pasal baru: Pasal 486 UU No. 1 Tahun 2023

Pasal 372 KUHP Lama:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Pasal 486 KUHP Baru:

“Setiap Orang yang secara melawan hukum memiliki suatu Barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena Tindak Pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

Ancaman hukuman: Pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Perbandingan Unsur-Unsur 486 KUHP Baru dengan Pasal 372 KUHP Lama:

Secara unsur, kedua pasal tersebut memuat elemen yang hampir sama, namun dengan redaksi yang berbeda. KUHP Lama menggunakan istilah “Barang siapa”, sedangkan KUHP Baru menggantinya dengan “Setiap Orang” untuk menyesuaikan dengan terminologi dalam peraturan perundang-undangan terkini. Unsur kesengajaan yang tercantum dalam KUHP Lama dihilangkan dalam KUHP Baru, sehingga hanya tersisa unsur “secara melawan hukum””. Selain itu, KUHP Lama menggunakan frasa “dalam kekuasaan bukan karena kejahatan”, sedangkan KUHP Baru memperbaruinya menjadi “dalam kekuasaan bukan karena tindak pidana”, mengikuti sistem klasifikasi hukum pidana nasional yang lebih mutakhir. Demikian artikel ini semoga bermanfaat dan semoga sehat selalu..!

Referensi :

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Nasional
  • marinews.mahkamahagung.go.id

Posting Komentar untuk "Bagaimana penerapan Pasal penipuan dalam KUHP baru di Pasal 492 dan Pasal penggelapan pada Pasal 486 UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP Nasional "