Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Welcome in Law Office Makmur Jaya, S.Kep., S.H., M.H. & Partners
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Adv. Makmur Jaya, S.Kep., S.H., M.H. & Rekan )
DEWAN PIMPINAN DAERAH FEDERASI ADVOKAT REPUBLIK INDONESIA (FERARI) PROV. JAWA BARAT
SIDANG PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

KEJANG DEMAM PADA BAYI DAN ANAK

A.     Pengertian Kejang Demam

Kejang demam didefinisikan sebagai kejang pada anak usia lebih dari 1 bulan, berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38 oC yang tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat (SSP), tanpa adanya riwayat kejang neonatal atau kejang tanpa sebab sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria kejang simptomatik lainnya. Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu mencapai >380C). kejang demam dapat terjadi karena proses intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Amid dan Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2013). Menurut Marvin A. Fishman (2007), kejang demam terjadi pada 2-4% anak usia di bawah 6tahun. Kriteria diagnostik mencakup: kejang pertama yang dialami oleh anak berkaitan dengan suhu yang lebih tinggi dari pada 38°C; anak berusia kurang dari 6tahun; tidak ada tanda infeksi atau peradangan susunan saraf pusat; anak tidak menderita gangguan metabolik sistemik akut. Kejang demam bersifat dependen-usia, biasanya terjadi pada anak berusia antara 9 dan 20 bulan; kejang jarang dimulai sebelum usia 6 bulan. Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak yang terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan menyerang sekitar 4% anak. Kebanyakan serangan kejang terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan frekuensi serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan. Kejang demam jarang terjadi setelah usia 5 tahun. (Dona L.Wong, 2008) Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh suhu rektal di atas 38°C. (Riyadi dan Sujono, 2009) Kejang demam ditimbulkan oleh demam dan cenderung muncul pada saat awal-awal demam. Penyebab yang paling sering adalah ispa. Kejang ini akan kejang umum dengan pergerakkan klonik selama kurang dari 10 menit. Sistem syaraf pusat normal dan tidak ada tanda-tanda defisit neurologis pada saat serangan telah menghilang. Sekitar 1/3 anak akan mengalami kejang demam kembali jika terjadi demam, tetapi sangat jarang yang mengalami kejang demam setelah usia 6tahun.) kejang demam dapat disebabkan oleh: a. Demam tinggi. Demam dapat disebabkan oleh karena tonsilitis, faringitis, otitis media, gastroentritis, bronkitis, bronchopneumonia, morbili, varisela,demam berdarah, dan lain-lain. b. Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman dan otak) terhadap otak. c. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal. d. Perubahan cairan dan elektrolit. e. Faktor predispisisi kejang deman, antara lain: 1) Riwayat keluarga dengan kejang biasanya positif, mencapai 60% kasus. Komplikasi kejang demam pnemonia aspirasi, asfiksia dan retradasi yang timbul dari penderita kejang demam ini membutuhkan peranan keperawatan dalam penanggulangannya.. Hal ini ditinjau dari aspek promotif Yaitu dengan mengadakan penyuluhan  kesehatan atau pendidikan kesehatan; preventif atau pencegahan dengan cara hindari anak terkena serangan demam, kuratif atau pengobatan dengan cara mengkompres anak bila demam, berikan obat penurun panas dan obat anti kejang serta rehabilitatif atau pemulihan dengan bedrest terhadap masalah atau resiko pasien kejang demam yang dirawat di rumah sakit. Secara umum terdapat dua jenis kejang demam, yaitu kejang demam sederhana (KDS), yang mencakup hampir 80% kasus dan kejang demam kompleks (KDK).2,3Kejang demam merupakan jeniskejang yang paling banyak terjadi pada anak, mengenai 2-5% anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun dengan puncak onset antara usia 18-22 bulan

 B.    Penyebab penyakit "kejang demam"

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi, diantaranya:

1. Faktor demam

Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8 0C aksila atau di atas 38,3 C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan factor utama timbul bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam. (80%). Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15 %, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukose dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Kreb normal, satu molukul glukose akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukose hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi, hal ini akan menggangu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel.masuknya ion Na+. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ masuknya ion Na+ dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial memban sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa demam mempunyai peranan untuk terjadi perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul demam kejang. Bangkitan demam kejang terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C (40-56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11% pendenta dan sebanyak 20 % penderita kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas 400C. 45 Tidak diketahui secara pasti saat timbul bangkitan kejang, apakah pada waktu terjadi kenaikan suhu tubuh ataukah pada waktu demam sedang berlangsung. Kesimpulan dan berbagai basil penelitian dan percobaan binatang menyimpulkan bahwa kejang terjadi tergantung dari kecepatan waktu antara mulai timbul demam sampai mencapai suhu puncak (onset) dan tinggiya suhu tubuh.akan menimbulkan discharge discharge di daerah oksipital dapat dilihat dari hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhu tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat dan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak. Kesimpulan dan uraian tersebut di atas menunjukkan apabila kejang demam pertama terjadi pada kenaikan suhu tidak mendadak dengan puncak tidak terlalu tinggi (berkisar 38°C - 40°C) serta jarak waktu antara mulai demam sampai timbul bangkitan kejang singkat (kurang dari satu jam), merupakan indikator bahwa penderita tersebut mempunyai nilai ambang terhadap kejang rendah. Nilai ambang kejang rendah merupakan faktor risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam.

2. Faktor Usia

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu:

1) neurulasi

2) perkembangan prosensefali, 

3) proliferasi neuron,

4) migrasi neural,

5) organisasi, dan

6) mielinisasi.

            Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisai dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun pertama paska natal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.

Fase perkembangan organisasi meliputi :

1) diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate,

2) Pencocokan, orientasi, pemantapan dan peletakan neuron pada korteks,

3) Pembentukan cabang neurit dan denrit,

4) pemantapan kontak di sinapsis,

5) kematian sel terprogram

6) proliferasi dan diferensiasi sel glia.

            Pada fase proses diferensiasi dan pemantapan neuron di subplate. Terjadi diferensiasi neurotransmiter eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Padafase proses pembentukan cabang-cabang akson (neurit dan denrit) serta pembentukan sinapsis terjadi proses “kematian sel terprogram” dan plastisitas. Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak terpakai. Sinapsis yang dieliminasi berkisar 40 %. Proses ini disebut proses regresif. Sel neuron yang tidak terkena proses “kematian terprogram” bahkanterjadi pembentukan sel baru disebut plastisitas. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila pada masa proses regresif terjadi bangkitan demam kejang dapat mengakibatkan trauma pada sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti demam kejang berulang akan mengakibatkan aberrant plasticity, yaitu terjadi penurunan fungsi GABA-ergic dan desensitisasi reseptor GABA serta sensitisasi reseptor eksitator. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan usia, meningkatkan eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebihdominan dibanding inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan demam kejang pada usia awal masa developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibanding anak yang mendapat serangan demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak fase eksitabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2 tahun. Arnold (2000) dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa sebanyak 4% anak akan mengalami demam kejang, terjadi dalam satu kelompok usia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun dengan demam tanpa infeksi intrakranial, sebagian besar (90%) kasus terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun dengan kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai dengan 24 bulan, faktor riwayat keluarga yang positif kejang demam sebanyak anak mengalami kejang demam yang berulang pada usia kurang dari 1 tahun dibandingkan dengan hanya 20% anak pada usia lebih dari 3 tahun. Di Mario dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa sebagian besar kejadian kejang yang dialami oleh anak adalah kejang demam, sebanyak 4% sampai dengan 5% anak pada usia kurang dari 5 tahun yang terjadi di Amerika dan Eropa. Di negara lain, frekuensi kejang demam dapat lebih tinggi antara 10% sampai dengan 15%. Penelitian yang dilakukan oleh Talebian terhadap 100 anak yang mengalami kejang demam pada usia kurang dari 5 tahun mengidentifikasikan bahwa usia anak kurang dari 1 tahun positif mengalami kejang demam sebanyak 6 anak (54,55%), pada usia antara 1 sampai dengan 5

3. Faktor riwayat keluarga

Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita demam kejang mempunyai nsiko untuk terjadi bangkitan demam kejang sebesar20%- 22%. Dan apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita demam kejang maka risiko untuk terjadi bangkitan demam kejang meningkat menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pemah menderita demam kejang maka risiko terjadi demam kejangnya hanya 9%. Pewarisan demam kejang lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27 % berbanding 7%.

4. Faktor prenatal

a. Usia saat ibu hamil

Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin denganasfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.

b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

            Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak, mendapatkan angka penyebab karena eklamsia sebesar (9%). Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang

c. Hamil primi atau multipara

Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan ( partus lama, persalinan dengan alat, kelainan letak ) dapat terjadi juga pada kehamilan multipara ( kehamilan dan melahirka bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasiklinisnya.

d. Pemakaian bahan toksik

            Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan risiko kerusakan janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya placenta previa. Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehinggadiperlukan seksio sesaria. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat teriadinya kejang.

        5. Faktor Perinatal/asfiksia

Trauma selama persalinan dapat menyebabkan asfiksia perinatal atau pendarahan  intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6-12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 - 24 jam bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat. Pada kasus ini prognosisnya kurang baik. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis, di antaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan terhadap iskemia adalah "watershead area" yaitu daerah parasagital hemisfer yang mendapat vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.

a.       Bayi berat lahir rendah

Bayi berat lahir rendah ( BBLR ) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR kurang 2500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi dengan manifestasi kejang.

b.      Kelahiran prematur atau postmatur

Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan sebelum minggu dari hari pertama menstruasi terakhir.52 Pada bayi prematur, alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena sering menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak bertambah. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain di hipokampus. Oleh karena itu setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Dengan menggunakan data pada tahun 2002 sampai dengan 2004, dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa terdapat 4 (2,2%) bayi yang lahir dengan partus lama mengalami kejang demam.

c.       Persalinan dengan alat (forcep, vakum, seksio sesaria)

     Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subaraknoid dan perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan. Perdarahan subaraknoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi subdural. cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau udem otak; keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya. Penelitian kohort selama 7 tahun oleh Maheshwari (1992), mendapatkan hasil bahwa bayi yang lahir dengan bantuan alat forcep mempunyai risiko untuk mengidap kejang dibandingkan bayi yang lahir secara normal dengan perbandingan 22 :10. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran seperti hipoksia, kerusakan akibat tindakan (forcep) atau trauma lain pada otak bayi juga merupakan penyebab kejang pada anak. Penelitian yang dilakukan Richardson et. al (2000) di Brigham and Women Hospital di Amerika terhadap 152 kejadian kontrol dan 38 kejadian kasus kejang demam pada bayi yang orang tuanya sebagai

pekerja dan terjadi kerusakan akibat tindakan pada saat kelahiran (forcep) mendapatkan hasil bahwa sebanyak 4 (10,5%) pada kejadian kasus dan 8 (5,3%) pada kejadian kontrol sedangkan persalinan dengan alat (vakum) didapatkan hasil sebanyak 2 (5,3%) pada kejadian kasus dan 6 (4%) pada kejadian kontrol.

d.      Perdarahan intrakranial

Perdarahan intrakranial dapat merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomali kongenital. Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat bermanifestasi sebagai perdarahan subdural, subarakhnoid, intraventrikuler/periventrikuler atau intraserebral. Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi dari vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikuler. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.

       6. Faktor paska natal

a. Infeksi susunan saraf pusat

        Risiko akibat serangan kejang bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Beberapa jenis obat psikotoprik dan zat toksik seperti Cu, Co, Pb dan lainnya dapat memacu terjadinya kejang. Beberapajenis obat dapat menjadi penyebab kejang yang diakibatkan racun yang dikandungnya atauadanya konsumsi yang berlebihan, termasuk didalamnya alkohol, obat anti-piretik, opium, obat anestetik dan anti-depresan. Penggunaan barbiturat dan benzodiazepine dapat menyebabkan serangan mendadak pada orang yang menderita epilepsi. Serangan terjadi setelah 12-24 jam setelah mengkonsumi alkohol. Sedangkan racun yang ada pada otot dapat mengendap dan menyebabkan kejang. Cassano (1990) melakukan penelitian kasus-kontrol dengan membandingkan 472 anak di Washington Barat Amerika, dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa rokok dan alkohol yang dikonsumsi termasuk pada faktor resiko terjadinya kejang deman pada anak, hasil analisis statistik menyebutkan bahwa konsumsi rokok dan alkohol pada masa kehamilan termasuk dua aktifitas hal yang menyebabkan terjadinya pengurangan atau pembatasan konsumsi rokok dan alkohol selama masa kehamilan adalah usaha yang efektif untuk mencegah kejang demam pada anak.

b. Gangguan Metabolik

Serangan kejang dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi serum glokuse, kalsium, magnesium, potassium, dan sodium. Beberapa kasus hiperglikemia yang disertai status jhiperosmolar non ketoik merupakan faktor risiko penting penyebab epilepsi di asia, seringkali menyebabkan kejang. Daoud et. al. (2002) dalam penelitiannya di Yordania dengan menggunakan data selama tahun 2002 di Jordan University dan King Hussein Medical Center mengidentifikasikan bahwa konsentrasi serum glokuse, kalsium, magnesium dan bahan sejenis pada anak dapat memicu terjadinya kejang demam walaupun secara statistik tidak secara signifikan mempengaruhi kejadian kejang demam pada anak.

Saya menyimpulkan bahwa kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 38o C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun. Kejang demam di klasifikasikan menjadi 2 yaitu Kejang demam sederhana dan Kejang kompleks. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu kerusakan otak dan retardasi mental. Diagnosa yang dapat muncul pada kejang demam yaitu : Hyperthermia berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, .Resiko ketidakefektifan perfusi otak b/d kejang.  Resiko cidera b/d kurangnya koordinasi otot/ kejang Risiko keterlambatan perkembangan b/d kejang. Penanganan kejang pada anak dimulai dengan memastikan adanya kejang. Kejang dapat berhenti sendiri, atau memerlukan pengobatan saat kejang. Tatalaksana kejang yang adekuat dibutuhkan untuk mencegah kejang menjadi status konvulsivus. Setelah kejang teratasi dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis, dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang. Demikian artikel dari saya semoga bermanfaat..

 

Sumber :

-        Kozier, Barbara.2011. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, proses,

    dan praktik, ed 7.alih bahasa, Pamilih Eko Karyuni.Jakarta: EGC

-   NANDA. (2005). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2005-2006. Philadelphia: NANDA International.

-       Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. UKK Neurologi IDAI CDK 165/vol.35 no.6/September - Oktober 2008

-       e-jurnal medika, vol. 8 no. 4 april, 2019, Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kejang demam berulang pada anak di rsup sanglah Denpasar, Made Sebastian Dwi Putra Hardika dan Dewi Sutriani Mahalini

https://www.makmurjayayahya.com/2020/12/kejang-demam-pada-bayi-dan-anak.html

 

 

 

 

 

Posting Komentar untuk "KEJANG DEMAM PADA BAYI DAN ANAK"

Menyalinkode AMP