Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Welcome in Law Office Makmur Jaya, S.Kep., S.H., M.H. & Partners
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Adv. Makmur Jaya, S.Kep., S.H., M.H. & Rekan )
DEWAN PIMPINAN DAERAH FEDERASI ADVOKAT REPUBLIK INDONESIA (FERARI) PROV. JAWA BARAT
SIDANG PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

Etika Profesi Keperawatan dan Hukum Kesehatan

Penulis : 
Gerardus Gegen, S.H., MH.Kes.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perawat Indonesia (LBHPI)

makmurjayayahya.com - Lemahnya perlindungan hukum bagi perawat meskipun di dalam peraturan perundang-undangan dicantumkan dengan jelas bahwa perawat memperoleh perlindungan sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar etik, standar profesi, dan standar prosedur, namun dan belum ada peraturan pelaksana yang menjelaskan bagaimana bentuk, langkah-langkah dan cara melakukan upaya perlindungan hukum bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Di tambah lagi pengetahuan dan wawasan perawat tentang hukum masih sangat kurang.


BAB I

PENDAHULUAN


    Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hak warga negara dan tanggung jawab negara. Hak asasi bidang kesehatan ini harus diwujudkan melalui pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat dengan menanamkan kebiasaan hidup sehat.  

    Penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan melalui pemberian pelayanan kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan, baik tenaga kesehatan maupun tenaga non-kesehatan. Perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan berperan sebagai penyelenggara Praktik Keperawatan, pemberi Asuhan Keperawatan, penyuluh dan konselor bagi Klien, pengelola Pelayanan Keperawatan, dan peneliti Keperawatan. Pelayanan Keperawatan yang diberikan oleh Perawat didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi di bidang ilmu keperawatan yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan Klien, perkembangan ilmu pengetahuan, dan tuntutan globalisasi. Pelayanan kesehatan tersebut termasuk Pelayanan Keperawatan yang dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman oleh Perawat yang telah  mendapatkan registrasi dan izin praktik. Praktik keperawatan sebagai wujud nyata dari Pelayanan Keperawatan dilaksanakan secara mandiri dengan berdasarkan pelimpahan wewenang, penugasan dalam keadaan keterbatasan tertentu, penugasan dalam keadaan darurat, ataupun kolaborasi.  

    Untuk menjamin pelindungan terhadap masyarakat sebagai penerima Pelayanan Keperawatan dan untuk menjamin pelindungan terhadap Perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan, diperlukan pengaturan mengenai keperawatan secara komprehensif yang diatur dalam undang-undang. Atas dasar itu, maka dibentuk Undang-Undang tentang Keperawatan untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

    Akan tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Keperawatan justru malah membuat ruang gerak dan ruang lingkup perawat semakin terbatas dan terbebani. Bagaiamana tidak, peraturan pelaksana dari Undang-Undangpun sampai sekarang juga belum keluar. Selain itu juga aparat penegak hukum tidak menggunakan dan/atau mengacu pada Undang-Undang Keperawatan saat sedang memproses dan mengadili perawat yang terjerat kasus hukum. Padahal diketahui bahwa Undang-Undang Keperawatan itu adalah lex specialis. 

    Seperti pada contoh-contoh kasus Perawat ZA dari RS National Hospital Surabaya yang dijerat Pasal 290 ayat (1) dan heboh di media sosial, lalu Pensiunan Mantri berinisial BR yang dijerat Pasal 360 KUHP dan Perawat Harsono Eko Saputro yang melakukan praktik keperawatan mandiri dijerat Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

    Lemahnya perlindungan hukum bagi perawat meskipun di dalam peraturan perundang-undangan dicantumkan dengan jelas bahwa perawat memperoleh perlindungan sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar etik, standar profesi, dan standar prosedur, namun dan belum ada peraturan pelaksana yang menjelaskan bagaimana bentuk, langkah-langkah dan cara melakukan upaya perlindungan hukum bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Di tambah lagi pengetahuan dan wawasan perawat tentang hukum masih sangat kurang.

    Oleh sebab itu, penulis ingin memberikan gambaran, wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa dan praktisi tentang hukum bagi perawat melalui buku ini. Diharapkan buku dengan judul “Etika Profesi Keperawatan & Hukum Kesehatan” ini setidaknya mampu memberikan gambaran seperti apa hukum dalam pelayanan kesehatan itu dan bagaimana melindungi diri sendiri dari jeratan hukum. Sehingga tindak pidana baik kurungan maupupun denda itu bisa dicegah dan dihindari dalam proses pelayanan keperawatan.



BAB II

SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN

Pada tanggal 25 September 2014 jam 12:10, akhirnya RUU Keperawatan disahkan menjadi UU tentang Keperawatan pada sidang paripurna DPR RI. Hari yang bersejarah setelah perjuangan panjang sejak tahun 1989, ketika Program Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Indonesia (PSIK-FKUI) meluluskan Perawat dengan pendidikan sarjana melalui sistem pendidikan tinggi yang diakui secara nasional. Keberadaan PSIK FKUI sebagai Pendidikan Tinggi Keperawatan di Indonesia yang ditubuhkan di Universitas Indonesia tahun 1985, merupakan perwujudan dari kesepakatan Lokakarya Nasional, Januari 1983. Pada waktu itu Pelopor pembangunan sistem pendidikan tinggi keperawatan di Indonesia antara lain: Prof. Ma'rifin Husin (Ketua/Sekretaris CHS), Prof. A.A. Loedin (almarhum, Deputi Menristek RI), Dr. Farinaz Parsay (Konsultan WHO), Dr. M. Isa (almarhum, Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI), Kelompok Kerja Keperawatan CHS (Consortium of Health Sciences), Pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan banyak lagi orang orang penting di belakang layar yang mendorong pengembangan profesi keperawatan melalui penataan sistem pendidikan tinggi keperawatan. Lokakarya Nasional menyepakati bahwa keperawatan adalah suatu profesi dan pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi berada dalam sistem pendidikan tinggi nasional. Ditetapkanlah struktur, jenjang dan jenis pendidikan keperawatan dengan proyeksi jenjang pendidikan sampai Spesialis 2 dan S3/Doktor dengan berbagai jenis spesialisasi bidang keperawatan.

Pada tahun 1989 inilah sebenarnya embrio RUU keperawatan berawal. Beranjak dari pemikiran tentang pentingnya landasan hukum untuk mengatur profesi keperawatan secara utuh yang mencakup pendidikan, praktik/pelayanan dan penelitian keperawatan serta kehidupan keprofesian, PSIK didukung oleh CHS, Depkes dan WHO menugaskan kepada Prof. A. A. Loedin dan Prof. Herkustanto (pada waktu itu belum Professor) sebagai konsultan untuk melakukan kajian tentang landasan hukum untuk keperawatan.Ternyata dari hasil temuan tersebut,tidak ada regulasi yang cukup kuat untuk mengatur keperawatan secara utuh sebagai suatu profesi. Oleh karena itu, salah satu rekomendasinya adalah penting adanya Undang Undang Keperawatan yang mengatur sistem keperawatan sebagai profesi dan perlindungan kepada masyarakat secara komprehensif dan mendasar. Pada tahun 1992 Undang Undang No. 23 tentang Kesehatan disahkan dan di dalam UU tersebut dituliskan tentang pengakuan bahwa keperawatan adalah profesi dengan keahlian yang dipersyaratkan untuk memperoleh kewenangan praktik sesuai dengan ilmu keperawatan. Selanjutnya pada tahun 1998, Dr. Farinaz Parsay sebagai konsultan WHO didampingi oleh Konsultan Nasional yaitu Achir Yani mewakili profesi keperawatan dan seorang wakil Ikatan Bidan mewakili kebidanan. Sepuluh key result areas (bidang hasil pokok) atau biasa disebut sasaran, dihasilkan. Salah satu sasaran tersebut adalah "adanya sistem regulasi untuk pendidikan dan praktik keperawatan dan kebidanan untuk melindungi masyarakat"

Pada tahun 2000, dengan berbagai upaya meyakinkan berbagai pihak dan dukungan dari dalam Departemen Kesehatan yaitu Prof. Azrul Azwar (almarhum), Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisian Medis dibentuk dan masuk dalam struktur organisasi Departemen Kesehatan. Walaupun baru pada tahun 2003 Direktorat baru dipimpin oleh Perawat, yaitu Ibu Dra. Herawani Azis, M.Kes, M.Kep.Sejak tahun 2000, bersama Biro Hukum dan Organisasi dan Unit Depkes terkait, Direktorat Keperawatan didukung oleh WHO menyusun Rancangan awal UU Keperawatan dengan konsultan WHO, Dr. Tassana Bontoong, yang saat itu sebagai President of Thailand Nursing Council. Ketika itu, IBI memutuskan untuk memiliki UU terpisah dari UU Keperawatan.

Departemen Kesehatan memfasilitasi kelanjutan penyusunan RUU untuk kedokteran (kedokteran dan kedokteran gigi), keperawatan, dan kebidanan. Bapak Faiq Bahfein sebagai fasilitator utama dan tentunya beberapa pejabat Depkes dan perwakilan organisasi profesi dan nara sumber ikut terlibat dalam penyusunan RUU bagi beberapa profesi kesehatan tersebut. Pada tahun 2004, UU Praktik Kedokteran disahkan, sementara pada tahun 2005, RUU Praktik Keperawatan dan RUU Praktik Kebidanan dengan inisiatif Pemerintah masuk dalam Program Legislasi Nasional dengan urutan 160 dan 161 untuk diselesaikan oleh DPR RI periode 2004-2009.

Ironis sekali, ketika MRA (Mutual Recognition Arrangement) untuk 10 Negara ASEAN ditandatangani 8 Desember 2006 di Cebu, Philippines,hanya Indonesia, Laos dan Vietnam yang belum memiliki UU Keperawatan. Konsekuensi dari MRA tersebut, apabila hingga 2010, belum ada "credentialing system", maka Perawat Indonesia tidak diakui untuk bisa bekerja di negara lain, sedangkan perawat asing akan bisa masuk bebas ke Indonesia tanpa melalui sistem uji kompetensi yang ditentukan oleh Indonesia. Namun walaupun kondisi yang cukup genting tersebut, hingga tahun 2008, di saat sudah akan dilakukan pemilihan legislatif dan presiden, RUU Keperawatan tetap saja tidak disentuh apalagi dibahas. Dorongan dari Pemerintah juga tidak tampak nyata. RUU Praktik Keperawatan yang kemudian diganti menjadi RUU Keperawatan, yang tidak saja diharapkan untuk mengatur praktik, namun juga mengatur pendidikan dan pelatihan bagi perawat, dan hubungan antara Konsil Keperawatan dengan berbagai focal points keperawatan, sebagaimana hasil kajian terhadap sejumlah Nursing Act dari berbagai negara. Oleh karena itu, pada Rapat Pimpinan Nasional PPNI di Semarang 2008, disepakati untuk melakukan aksi nasional untuk mendesak agar RUU Praktik Keperawatan segera dibahas melalui inisiatif DPR RI, bukan Pemerintah. Pro dan kontra di antara kalangan komunitas keperawatan dan pemerhati keperawatan terjadi. Ada yang mendukung gerakan aksi simpatik, namun ada yang menolak dengan berbagai alasan. Serangkaian lobby dan aksi simpatik baik di DPR RI maupun di Kementrian Kesehatan dilakukan dengan satu tekat bahwa RUU Keperawatan harus disahkan. RUU Keperawatan masuk dalam agenda DPR RI untuk diproses oleh DPR RI Periode 2009-2014.

Masukan dari beberapa anggota DPR RI yang konsisten mendukung terus menjadi acuan utama untuk bergerak mendorong pengesahan RUU Keperawatan. Berbagai nama Fraksi dan Legislator pendukung proses, akan terus dikenang dengan rasa penghargaan yang tinggi. Mereka selalu ada, ketika tantangan menghadang terutama ketika proses harmonisasi substansi RUU dengan Pemerintah, tidak selalu berjalan lancar kendatipun tetap dinamis. Proses politik terus berlangsung dengan resistensi dari berbagai pihak. Namun rasa kesatuan dan persatuan sesama perawat dan antara perawat dengan masyarakat yang berhak untuk mendapatkan perlindungan dan akses terhadap pelayanan keperawatan dan kesehatan, akhirnya mengantarkan RUU Keperawatan disahkan pada tanggal 25 September 2014.

Banyak nama yang terlibat dalam perjuangan panjang ini. Beberapa periode kepemimpinan PPNI sudah turut berjuang, dan akhirnya di bawah kordinasi Kordinator Satgas RUU Keperawatan yaitu Bapak Harif Fadillah, SKp, SH, dengan Kordinator Lapangan Iwan Effendi, dan tentunya Ketua Umum PP PPNI periode 2010-2015, Ibu Dewi Irawaty, MA, Ph.D. Kerjasama yang erat dengan Direktorat Keperawatan Kemkes dan beberapa stake holders, Pengurus PPNI di Pusat dan Daerah yang telah berjuang bersama dengan penuh kesabaran. Akhirnya disahkannya RUU Keperawatan menjadi UU Keperawatan. Menjadi tanggung jawab Perawat bersama untuk terus menata implementasi UU Keperawatan ke depan agar sesuai dengan tujuan utama keberadaannya adalah untuk melindungi masyarakat dan perawat, memberikan apa yang menjadi hak masyarakat sebagai bagian dari hak azasi manusia yang tidak bisa dan tidak boleh dihapuskan.[1]

Undang-undang keperawatan adalah tantangan. Tantangan bagi perawat untuk membuktikan bahwa perawat adalah profesi tenaga kesehatan yang mampu menyelenggarakan pelayanan keperawatan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau oleh perawat yang memiliki etik dan moral tinggi, sertifikat, registrasi dan lisensi. Dengan tuntutan semacam itu maka profesi perawat harus dapat menjawabnya dengan memberikan pelayanan secara profesional. Bukan pelayanan yang hanya berdasarkan insting belaka tetapi harus dilandasi oleh keilmuan.[2]


[1] Achir Yani Syuhaimie Hamid, 2014, Perjuangan Panjang untuk Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/ayanihamid/54f958f8a33311fc078b4c94/perjuangan-panjang-untuk-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).

[2] Puji Hastuti, 2014, Mengenal Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/pujih/54f92a6da33311ed068b4882/mengenal-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).


BAB III

ASAS, TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM  DALAM KEPERAWATAN

 

Menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Satropranoto, Pengertian Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, dimana menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.[1]

R. Soerso mengatakan Pengertian Hukum merupakan himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.[2]

Menurut Utrecht, Pengertian Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib kehidupan masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat. Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup, larangan dan perintah yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Oleh karenanya pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa.[3]

Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tibgkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yangdapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi.[4]

 

A.  Asas-Asas Hukum

Sebelum membahas tentang tujuan dan fungsi hukum, alangkah baiknya apabila mengenali terlebih dahulu asas-asas dalam hukum yang sering digunakan dan/atau di ucapkan oleh beberapa ahli kesehatan yang memiliki latar belakang pendidikan hukum.

·   Asas Legalitas  (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali) : Tidak boleh di hukum seseorang apabila peraturan perundang-undangan tidak mengatur tentang perbuatan yang dia lakukan.

·   Lex specialis derogat legi generali: Kalau terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku

· Lex superior derogat legi inferiori: Kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan.

·     Lex posteriori derogat legi priori: Undang-undang yang lama dinyatakan tidak berlaku apabila ada undang-undang yang baru yang mengatur hal yang sama.

·     Lex Rei Sitae, Lex Situs: Status hukum benda tidak bergerak/ tetap, tunduk kepada hukum dimana benda itu berada (Statuta realita).

·     Lex Loci Contractus: Dalam Perjanjian Perdata Internasional, hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana perjanjian dibuat.

·     Lex Loci Solotionis: Hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana perjanjian itu dilaksanakan.

·     Lex Loci Delicti Commissi: Apabila terjadi perbuatan melanggar hukum / wan prestasi, maka yang berlaku adalah hukum negara dimana penyelewengan perdata itu terjadi.

·     Lex Fori: Dalam hal terjadi penyelewengan perdata, hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana perkara diadili.

·     Lex Loci Actus: Berlaku hukum dimana dilakukannya suatu perbuatan hukum.

·  Lex Partriae: Hukum yang berlaku bagi para pihak atau salah satu pihak dalam berperkara adalah Hukum kewarganegaraannya.

·   Lex Locus Delicti: Hukum yang berlaku untuk menyelesaikan suatu perkara adalah hukum dimana perbuatan hukum tersebut dilakukan.

·   Lex Causae: Hukum yang akan dipergunakan adalah hukum yang berlaku bagi persoalan pokok ( pertama ) yang mendahului persoalan yang akan diselesaikan kemudian.

·  Lex Actus: Hukum dari negara yang mempunyai hubungan erat dengan transaksi yang dilakukan.

·   Lex Originis: Ketentuan hukum mengenai status dan kekuasaan atas subyek hukum tetap berlaku diluar negeri.

·     Lex certa: Ketentuan dalam perundang-undangan tidak dapat di artikan lain.

·  Lex Loci Celebrationis: Syarat formalitas berlangsungnya perkawinan, berlaku hukum dari negara dimana perkawinan dilangsungkan. ( locus regit actum ).

·   Locus delictie:  Tempat kejadian perkara, (TKP) : (a) Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi, atau akibat yang ditimbulkannya;  (b) Tempat-tempat lain dimana barang-barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat diketemukan; tempat dimana pembuat melakukan sesuatu adalah tempat dimana ia seharusnya melakukan sesuatu, atau tempat terjadinya akibat yang dimaksud dalam perumusan peraturan perundang-undangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat ini.

·     Asas Culpabilitas (Nulla poena sine culpa), artinya tiada pidana tanpa kesalahan.

·     Asas Opportunitas: Penuntut umum berwenang untuk tidak melakukan penuntutan dengan pertimbangan demi kepentingan umum.

·     Asas Presumption of Innocence ( Praduga tak bersalah ) : Seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

·     Asas in dubio pro reo: Dalam hal terjadi keragu-raguan maka yang diberlakukan adalah peraturan yang paling menguntungkan terdakwa.

·     Asas Individualiteit: Obyek hak kebendaan selalu merupakan barang yang individueel bepaald, yaitu barang yang dapat ditentukan . Artinya seseorang hanya dapat memiliki barang yang berwujud yang merupakan kesatuan.

·     Asas Totaliteit: Seseorang yang mempunyai hak atas suatu barang maka ia mempunyai hak atas keseluruhan barang itu/ bagian-bagian yang tidak tersendiri.

·     Asas Onsplitsbaarheid (tidak dapat dipisahkan): Pemisahan dari zakelijkrechten tidak diperkenankan, tetapi pemilik dapat membebani hak miliknya dengan iura in realiena : jadi seperti melepaskan sebagian dari wewenangnya.

·     Asas Pacta Sunt Servanda (janji itu mengikat). Suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

·     Asas Konsensualitas: Suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika telah tercapai kesepakatan para pihak dan sudah memenuhi sayarat sahnya kontrak

·     Asas Canselling: Suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dimintakan pembatalan.

·     Mobilia Personam Sequuntur: Status hukum benda-benda bergerak mengikuti status hukum orang yang menguasainya.

·     Monogami: dalam suatu perkawinan dimana seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang perempuan sebagai isteri dan seorang perempuan hanya boleh memiliki seorang suami.

·     Ne Bis In Idem: Terhadap perkara yang sama tidak dapat diajukan dua kali pemeriksaan.

·     Onrechtmatige Overheidts daad: Perbuatan yang melanggar hukum.

·     Unus Testis Nullus Testis: Satu saksi bukan sanksi, maksudnya keterangan seorang saksi harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain.

·     Ubi Socitas Ibi Ius: Dimana Ada masyarakat disitu ada Hukum.

·     Uit Voerbaar bij Vooraad: Putusan yang dapat dilaksanakan Terlebih Dahulu, meskipun pihak yang kalah mengajukan banding ataupun kasasi.

·  Putusan Contradictoir: Putusan atas bantahan, suatu putusan yang diambil setelah mendengarkan keterangan kedua belah pihak.

·     Provisionel Eis: Putusan Sela, putusan yang diambil oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan akhir.

·     Putusan Condemnatoir: putusan yang bersifat penghukuman.

·     Putusan Declaratoir: Putusan yang menentukan sifat suatu keadaan  dengan tidak mengandung perintah kepada pihak untuk untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu.

·     Putusan Constitutief: Putusan yang melenyapkan suatu keadaan/situasi hukum.

·  Punitive damages (Ganti rugi penghukuman): Suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya, ganti rugi itu dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku.

·     Preponderance of evidence: Bukti-bukti yang lebih berbobot atau lebih meyakinkan atau lebih dapat dipecaya jika dibanding dengan bukti lainnya, atau bukti-bukti yang dianggap cukup untuk dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa.

·     Pro bono: Suatu perbuatan/pelayanan hukum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya.

·     Restitutie In Intergum: Pengembalian obyek sengketa kepada keadaan semula.

·     Rechtmatige daad: Perbuatan sesuai dengan hukum.

·     Requisitoir: Suatu pembuktian tentang terbukti atau tidaknya surat dakwaan.

·     Restitusi: Suatu nilai tambah yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan wanprestasi.

·     Saksi a charge: Saksi yang memberatkan/memberikan keterangan yang memberatkan.

·     Saksi a decharge: Saksi yang meringankan/memberikan keterangan yang meringankan.

·     Teori fiktie (fiksi): yang menyatakan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen).

·     Verzet: Perlawanan, Deer den Verzet : Perlawanan Pihak Ketiga.

·     Verstek: Putusan yang diambil diluar hadirnya Tergugat.

·     Verjaring (Kadaluarsa): Lampaunya tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang, sehingga mengakibatkan orang yang menguasai barang memperoleh hak milik.

·     Vrijspraak (Bebas dari segala dakwaan) : Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim karena dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

·    Zakwaarneming ( 1345 BW ). Asas dimana seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, maka ia wajib mengurusnya sampai tuntas.

·     Barang bukti/corpus delicti: Barang yang digunakan untuk melakukan suatu kejahatan atau hasil dari suatu kejahatan.

·     Beban pembuktian terbalik: Beban yang menjadi tanggung jawab pelaku untuk membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana.

·  Benturan kepentingan: Benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut.

 

B.  Tujuan Hukum

Menurut Achmad Ali, persoalan tujuan hukum dititikberatkan melalui tiga sudut pandang, antara lain:

1  Dari sudut pandang ilmu positif-normatif, atau yuridis-dogmatik, di mana tujuan hukum dititkberatkan pada segi kepastian hukumnya.

2.  Dari sudut pandang flsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan.

3.  Dari sudut pandang sosiologi hukum, di mana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatanya.[5]

Oleh hal tersebut di atas, Achmad Ali mengklasifikasikan tujuan ke dalam dua kelompok teori, yaitu:

·     Ajaran konvensional

Ajaran konvensional dibagi menjadi tiga, antara lain:

a)  Ajaran etis; menyatakan bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.

b)  Ajaran utilitis; menyatakan bahwa pada asasnya, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebaahagiaan masyarakat.

c)   Ajaran normative-dogmatik; menyatakan bahwa pada asasnya, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.[6]

·     Ajaran Modern

Ajaran modern dibagi menjadi dua, yaitu:

a)  Ajaran prioritas baku

Menurut Achmad Ali berdasarkan proritas bahu dari Radbruch, keadilan harus selalu diprioritaskan. Ketika hakim harus memilih Antara keadilan dan kemanfaatan, maka pemilihan harus pada keadilan. Demikian pula ketika hakim memilih antara kemanfaatan dan kepastian, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Karena prioritas pertama  ialah keadilan, kemudian kemanfaatab, dan terakhir barulah kepastian.

b)  Ajaran prioritas yang kasuistis

Semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern,pilihan yang sudah dibakukan kadang-kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu. Sebab, adakalanya dalam satu kasus, keadilan yang lebih diprioritaskan daripada kemanfaatan dan kepastian, namun ada kalanya tidak mesti demikian. Mungkin untuk kasus-kasus lain, justru kemanfaatanlah yang diprioritaskan, mungkin juga justru kepastian sehingga munculah ajaran yang paling maju yang diberi nama “prioritas yang kasuistis”.[7]

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa tujuan hukum dalam keperawatan adalah:

1.  Memberikan keadilan bagi perawat dalam melaksanakan pelayanan keperawatan baik secara mandiri maupun secara kolaboratif di fasilitas pelayanan kesehatan.

2.  Memberikan kemanfaatan dalam mejalankan asuhan keperawatan.

3.  Meberikan kepastian untuk dapat diakui keberadaanya sebagai salah satu pemberi layanan kesehatan.

 

C.  Fungsi Hukum

Menurut Achmad Ali, fungsi hukum dibedakan sebagai berikut:

1.  Hukum sebagai a Tool of Social Control

Artinya bahwa hukum bisa dibergunakan sebagai alat pengendali sosial di masyarakat.

2.  Hukum sebagai a Tool of Social Engineering

Artinya bahwa hukum dijadikan sebagai alat untuk mengubah masyarakat dengan sistem yang teratur dan terencana.

3.  Hukum sebagai Symbol

Simbol berasal dari kata dalam bahasa Yunani “symballo” yang artinya melempar bersama-sama, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau gagasan objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Artinya hukum mencakup proses-proses menerjemahkan atau penggambaran atau mengartikan suatu istilah sederhana tentang hubungan sosial serta fenomena-fenomena lainya yang timbul interaksi dengan orang lain. Contohnya: seorang perawat mengambil handphone milik pasien yang tergeletak di ruang rawat inap dengan maksud memiliki dengan jalan melawan hukum, oleh hukum pidana disimbolkan sebgai tindakan pencurian yang seyogyanya dihukum.

4.  Hukum sebagai a Political Instrument

Artinya bahwa hukum bisa dijadikan sebagai alat politik.

5.  Hukum sebagai Integrator

Artinya bahwa hukum dapat dipergunakan sebagai alat pnyelesaian konflik-konfik kemasyarakatan.[8]

 

Menurut Petrus Soerjowonoto, fungsi hukum dibagi menjadi lima, antara lain:

1.  Hukum berfungsi sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Fungsi ini memberikan petunjuk kepada masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku.

2.  Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial.

3.  Hukum berfungsi sebagai alat penggerak pembangunan

4.  Hukum berfungsi sebagai alat kritik.

5.  Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik.[9]

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa fungsi hukum dalam keperawatan adalah:

1.  Sebagai alat yang mengendalikan perilaku perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan.

2.  Sebagai dasar atau acuan perawat dalam melakukan interaksi sosial di bidang kesehatan.

3.  Sebagai alat penggerak pembangunan di bidang kesehatan.

4.  Sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik antara perawat dengan pasien dan antara perawat dengan tenaga kesehatan lain.


[1] Wawan Muhwan Hariri, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 5.
[3] Ibid, hlm. 6.
[4] Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm. 40.
[5] Achmad Ali, 2015, Menguak Tabirr Hukum, Jakarta: Prenamedia Group, hlm.87.
[6] Ibid, hlm. 88.
[7] Ibid, hlm. 98-100.
[8] Ibid, hlm. 102-120.
[9] Petrus Soerjowinoto, 2017, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata, hlm.49-50.



BAB IV

KEPERAWATAN

 

 

A.  Pengertian Perawat

Perawat (bahasa Inggris: nurse, berasal dari bahasa Latin: nutrix yang berarti merawat atau memelihara) adalah suatu profesi yang di fokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan komunitas dalam mencapai, memelihara, dan menyembuhkan kesehatan yang optimal dan berfungsi.[1]

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, menyebutkan bahwa : “perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan”.

Menurut PPNI, perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.[2]

Menurut Achir Yani S. Hamid, perawat merupakan orang pertama dan secara konsisten selama 24 jam sehari menjalin kontak dengan pasien, perawat sangat berperan dalam membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien.[3]

Menurut Kusnanto, perawat adalah seseorang (seorang profesional) yang mempunyai kemampuan, tanggungjawab dan kewenangan melaksanakan pelayanan/ asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan keperawatan.[4]

Menurt Robert Priharjo, Perawat merupakan salah satu tenaga tim kesehatan yang mempunyai waktu yang paling lama dapat mengadakan kontak dengan pasien.[5]

Menurut Asmadi, Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling sering dan paling lama berinteraksi dengan klien. Sehingga perawat adalah pihak yang paling mengetahui perkembangan kondisi kesehatan klien secara menyeluruh dan bertanggung jawab atas klien.Perawat merupakan penolong utama klien dalam melaksanakan aktivitas penting guna memelihara dan memulihkan kesehatan klien atau mencapai kematian yang damai.[6]

Perawat menurut International Council of Nursing (ICN) adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di Negara yang bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.[7]

 

B.  Peran Perawat

Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukan dalam sistem, dimana dapat dipengartuhi oleh keadaan sosial baik dari profesi maupun diluar profesi keperawatan yang bersifat konstan. Peran perawat menurut konsirsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri dari :

1.  Peran Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan

2.  Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhann dasar manusia yang dibutuhkan  melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.

3.  Peran Perawat sebagai advokat klien

Peran ini dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.

4.  Peran Perawat sebagai Edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

5.  Peran Perawat sebagai koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

6.  Peran Perawat sebagai kolaborator

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

7.  Peran Perawat sebagai Konsultan

Peran ini sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Pertan ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

8.  Peran Perawat sebagai Pembaharuan

Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

 

Selain peran perawat berdasarkan konsirsium ilmu kesehatan, terdapat pembagian peran perawat menurut hasil lokakarya keperawatan tahun 1983, yang membagi empat peran perawat:

1.  Peran Perawat sebagai Pelaksana Pelayanan Keperawatan

Peran ini dikenal dengan peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung kepada klien sebagai individu, keluarga, dan masyarakat, dengan metoda pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan.

2.  Peran Perawat sebagai Pendidik dalam Keperawatan

Sebagai pendidik, perawat berperan dalam mendidik individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada di bawah tanggung jawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada klien, maupun bentuk desiminasi ilmu kepada peserta didik keperawatan.

3.  Peran Perawat sebagai Pengelola pelayanan Keperawatan

Dalam hal ini perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan. Sebagai pengelola, perawat melakukan pemantauan dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan keperawatan serta mengorganisasikan dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan. Secara umum, pengetahuan perawat tentang fungsi, posisi, lingkup kewenangan, dan tanggung jawab sebagai pelaksana belum maksimal.

4.  Peran Perawat sebagai Peneliti dan Pengembang pelayanan Keperawatan

Sebagai peneliti dan pengembangan di bidang keperawatan, perawat diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian, serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian di dalam bidang keperawatan berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan teknologi di bidang kesehatan, karena temuan penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam memperkokoh upaya menetapkan dan memajukan profesi keperawatan.

 

C.  Fungsi Perawat

Secara teoritik menurut Patricia W. Iyer, perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan mempunyai tiga fungsi, yaitu: fungsi keperawatan mandiri, fungsi ketergantungan dan fungsi kolaboratif.

1.     Fungsi keperawatan mandiri (independent) adalah aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas inisiatif perawat itu sendiri berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Mundinger menyebutnya sebagai otonomous nursing practice to independent nursing atau those activity that are considered to be within nursing’s scope of diagnosis and treatment. Fungsi keperawatan mandiri pada prinsipnya juga sering disebut sebagai perawatan holistik, yaitu keperawatan yang berfokus pada promosi kesehatan yang melihat individu secara keseluruhan baik fisik, pikiran dan jiwanya.[8] Contoh tindakan perawat dalam menjalankan fungsi independen adalah:

§  Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarganya dan menguji secara fisik untuk menentukan status kesehatan.

§  Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan.

§  Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

§  Mendorong untuk berperilaku secara wajar.

2.    Fungsi Perawat Ketergantungan (dependent)

Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, dan melakukan suntikan. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab dokter. Setiap tindakan perawat yang berdasarkan perintah dokter, dengan menghormati hak pasien tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat.

3.    Fungsi Perawat Ketergantungan (dependent)

Tindakan perawat berdasar pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lainnya berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Mereka biasanya tergabung dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter. Sebagai sesama tenaga kesehatan, masing-masing tenaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sesuai dengan bidang ilmunya. Dalam kolaborasi ini, pasien menjadi fokus upaya pelayanan kesehatan. Contohnya, untuk menangani ibu hamil yang menderita diabetes, perawat bersama tenaga gizi berkolaborasi membuat rencana untuk menentukan kebutuhan makanan yang diperlukan bagi ibu dan perkembangan janin. Ahli gizi memberikan kontribusi dalam perencanaan makanan dan perawat mengajarkan pasien memilih makan sehari-hari. Dalam fungsi ini, perawat bertanggung jawab secara bersama-sama dengan tenaga kesehatan lain terhadap kegagalan pelayanan kesehatan terutama untuk bidang keperawatannya.

 

D.  Konsep Keperawatan

Keperawatan adalah sebuah seni dan sebuah ilmu. Keduanya membentuk suatu hubungan sinergis yang jika di gabungkan akan menjadi lebih besar dibanding jika tetap pada masing-masing entitasnya seni yang termanifestasi dalam pemeliharaan dan pemberian kasih sayang yang menghibur tidak dapat berdiri tanpa dasar pengetahuan ilmiah yang membenarkan tindakan perawatan, demikian sebaliknya.[9]

Menurut hasil Lokakarya  Keperawatan Nasional 1983, keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik yang sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.[10]

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, menyebutkan bahwa Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat.

Keperawatan merupakan ilmu terapan yang menggunakan ketrampilan intelektual professional, komunikasi dan aplikasi teknologi, serta menggunakan proses keperawatan dalam membantu pasien/ keluarga dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.

 

Menurut Suwignyo terdapat lima konsep utama keperawatan:

1.  Tanggung jawab perawat

Tanggung jawab perawat yaitu membantu apapun yang pasien butuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut (misalnya kenyamanan fisik dan rasa aman ketika dalam medapatkan pengobatan atau dalam pemantauan. Perawat harus mengetahui  kebutuhan pasien untuk membantu memenuhinya. Perawat harus mengetahui benar peran  profesionalnya, aktivitas perawat  profesional yaitu tindakan yang dilakukan perawat secara bebas dan bertanggung jawab guna mencapai  tujuan dalam membantu pasien. Ada beberapa aktivitas spontan dan rutin yang bukan aktivitas profesional perawat yang dapat dilakukan oleh perawat, sebaiknya hal ini dikurangi agar perawat lebih terfokus pada aktivitas-aktivitas yang benar-benar menjadi kewenangannya.   

2.  Mengenal perilaku pasien

Mengenal perilaku pasien yaitu dengan mengobservasi apa yang dikatakan pasien maupun perilaku nonverbal yang ditunjukan pasien. 

3.  Reaksi segera

Reaksi segera meliputi persepsi, ide dan perasaan perawat dan pasien. Reaksi segera adalah respon segera atau respon internal dari perawat dan persepsi individu pasien , berfikir dan merasakan. 

4.  Disiplin proses keperawatan

Interaksi total (totally interactive) yang dilakukan tahap demi tahap, apa yang terjadi antara perawat dan pasien dalam hubungan tertentu, perilaku pasien, reaksi perawat terhadap perilaku tersebut dan tindakan yang harus dilakukan, mengidentifikasi kebutuhan pasien untuk  membantunya serta untuk melakukan  tidakan yang tepat. 

5.  Kemajuan / peningkatan

Peningkatan berarti tumbuh lebih, pasien menjadi lebih berguna dan produktif.[11]

 

Menurut Asmadi, bahwa konsep keperawatan adalah sebagai berikut:

1. Keperawatan adalah profesi yang tidak bisa terpisahkan dari kesehatan lain dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien. Perawat adalah profesi kesehatan yang paling banyak jumlahnya dan yang paling terdepan dalam memberikan layanan kesehatan.

2. Keperawatan memiliki beberapa tujuan antara lain memberikan pelayanan paripurna dan efektif kepada klien serta memenuhi kebutuhan dasar manusia.

3.  Fungsi utama perawat adalah membantu klien baik dari individu- masyarakat, baik yang sehat maupun yang sakit sehingga mencapai derajat kesehatan yang optimal.

4. Intervensi keperawatan dalam upaya meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, menyembuhkan serta memelihara kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative sesuai dengan wewenang, tanggung jawab, etika profesi keperawatan sehingga klien dapat hidup sehat dan produktif.[12]

 

Sedangkan Konsep Teori Keperawatan menurut Dorothea Orem lebih berfokus kepada Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT). Teori keperawatan defisit perawatan diri adalah sebuah teori yang terdiri dari gabungan empat tori yang saling berhubungan, yaitu:

1.  Teori perawatan diri (Self Care Theory): teori ini menjelaskan alasan manusia melakukan perawatan diri dan menerangkan bagaimana cara melakukan perawatan diri.

2.  Teori ketergantungan perawatan (Self Care Dependent Care Agency): teori ini menjelaskan cara keluarga atau teman-teman membantu memenuhi kebutuhan perawatan diri untuk orang yang membutuhkan.

3.  Teori defisit perawatan diri (Self Care Deficit): teori ini menjelaskan mengapa individu membutuhkan perawatan diri dan layak untuk dibantu dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.

4.  Teori sistem keperawatan (Nursing System Theory): teori ini menjelaskan hubungan antara perawat dengan pasien yang selalu di jaga untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien.[13]

 

E.  Proses Keperawatan

Proses keperawatan di dalam praktik terdiri dari lima tahap, yaitu: assessment, diagnosis, intervension, implementation, dan evaluation. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

1.   Assesment (pengkajian) merupakan tahap pertama dalam proses keperawatan. Di dalam tahap ini dilakukan pengumpulan informasi pasien, keluarga, dan masyarakat yang meliputi informasi fisik, perkembangan, psikologis, kognisi, sosial, dan spiritual dalam format yang telah ditentukan.

2.   Diagnosis keperawatan merupakan analisis secara kritis dan interpretasi data yang telah disistematisasikan berdasarkan perspektif keperawatan. Diagnosis keperawatan menggambarkan status masalah kesehatan dan penyebab timbulnya masalah tersebut. Diagnosis keperawatan  terdiri dari tiga komponen yaitu: masalah, penyebab, dan tanda/gejala. Apabila respon pasien berubah maka diagnosis keperawatan juga berubah sesuai dengan perkembangan kondisi pasien tersebut.

3.   Intervension (Perencanaan) dalam asuhan keperawatan merupakan rencana dan tahapan penentuan prioritas diagnosis keperawatan, penetapan, sasaran dan tujuan, penetapan kriteria evaluasi, dan merumuskan intervensi keperawatan.

4.   Implementation merupakan pelaksanaan dari rencana keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.

5.   Evaluation merupakan proses terakhir keperawatan yang menentukan tingkat keberhasilan asuhan keperawatan. Hal yang dievaluasi adalah:

a)   Keakuratan, kelengkapan, dan kualitas data.

b)   Teratasi tidaknya masalah pasien.

c)   Pencapaian tujuan.

d)   Ketepatan intervensi keperawatan.[14]

 



[1] Wikipedia Bahasa Indonesia versi online, diakses dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal 2 Januari 2019).

[2] DPP PPNI, 2017, Pedoman Praktik Keperawatan Mandiri, Jakarta: DPP PPNI, hlm. 4.

[4] R. Muntoha, 2015, Skripsi: “Hubungan antara Beban Kerja dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Perawatan Khusus RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga”, Purbalingga: Repository UMP, hlm. 11.

[5] Ibid, hlm. 1.

[6] Ibid, hlm. 1.

[7] Ibid, hlm. 1.

[8] M. Fakih, “Kedudukan Hukum Keperawatan Dependen dalam Transaksi Terapeutik” Yustisia Vol. 2 No. 2, 2013.

[9] Bennita W. Vaunghans, 2013, Keperawatan Dasar (Edisi Terjemahan), Yogyakarta: Rapha Publishing, hlm.5.

[10] Sri Praptianingsih, 2007, Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.25.

[13] Lilis dan Ramadhaniayati, 2018, Falsafah Dan Teori Keperawatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 76.

[14] Sri Praptianingsih, Op.Cit, hlm. 39-44.


BAB V

ETIKA KEPERAWATAN


Etik atau ethics berasal dari bahasa yunani : “etos” yang berarti adat, kebiasaan, perilaku atau karakter. Menurut kamus Webster, etik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral.

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).


A. Prinsip Etika Keperawatan

1. Otonomi (Autonomy) : Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri

2. Berbuat baik (Beneficience) : Melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain. Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain/pasien.

3. Keadilan (Justice) : Hak setiap orang untuk diperlakukan sama.

Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua individu. Artinya individu mendapat tindakan yang sama mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan kehidupan seseorang

4. Tidak merugikan (Nonmaleficience) : Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau membahayakan orang lain.

5. Kebebasan (freedom) : Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan atau paksaan pihak lain. Bahwa siapapun bebas menentukan pilihan yang menurut pandangannya sesuatu yang terbaik

6. Kejujuran (Veracity): Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya.

7. Menepati janji (Fidelity): Peduli pada pasien merupakan komponen paling penting dari praktek keperawatan, terutama pada pasien dalam kondisi terminal. Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam memberi asuhan keperawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik, memberikan kenyamanan dan menunjukan kemampuan profesional

8. Karahasiaan (Confidentiality): Melindungi informasi yang bersifat pribadi, prinsip bahwa perawat menghargai semua informsi tentang pasien dan perawat menyadari bahwa pasien mempunyai hak istimewa dan semua yang berhubungan dengan informasi pasien tidak untuk disebarluaskan secara tidak tepat.

9. Akuntabilitas (Accountability): Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

B. Tujuan Etika Keperawatan

Menurut American Ethics Commission Bureau on Teaching, tujuan etika keperawatan adalah mampu : 

a. Mengenal dan mengidentifikasi unsur moral dalam praktek keperawatan. 

b. Membentuk strategi/cara menganalisis masalah moral yang terjadi dalam praktek keperawatan. 

c. Menghubungkan prinsip-prinsip moral yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan pada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan kepada Tuhan, sesuai dengan kepercayaannya.  

 

Menurut National League for Nursing (NLN): Pusat Pendidikan keperawatan milik Perhimpunan Perawat Amerika, pendidikan etika keperawatan bertujuan: 

a. Meningkatkan pengertian peserta didik tentang hubungan antar profesikesehatan dan mengerti tentang peran dan fungsi masing-masing anggota  tim   tersebut. 

b. Mengembangkan potensi pengambilan keputusan yang berkenaan denganmoralitas, keputusan tentang baik dan buruk yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sesuai dengan kepercayaannya. Mengembangkan sikap pribadi dan sikap profesional peserta didik. 

c. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan ilmu dan prinsip-prinsip etika keperawatan dalam praktek dan dalam situasi nyata.  


C. Fungsi Etika Keperawatan

Etika keperawatan juga memiliki fungsi penting bagi perawat dan seluruh individu yang menikmati pelayanan keperawatan. Fungsi-fungsi tersebut adalah: 

a. Menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan keperawatan, 

b. Mendorong para perawat di seluruh Indonesia agar dapat berperan serta dalam kegiatan penelitian dalam bidang keperawatan dan menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan atau asuhan keperawatan,

c. Mendorong para perawat agar dapat berperan serta secara aktif dalam mendidik dan melatih pasien dalam kemandirian untuk hidup sehat, tidak hanya di rumah sakit tetapi di luar rumah sakit,

d. Mendorong para perawat agar bisa mengembangkan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kemampuan profesional, integritas dan loyalitasnya bagi masyarakat luas,

e. Mendorong para perawat agar dapat memelihara dan mengembangkan kepribadian serta sikap yang sesuai dengan etika keperawatan dalam melaksanakan profesinya,

f. Mendorong para perawat menjadi anggota masyarakat yang responsif, produktif, terbuka untuk menerima perubahan serta berorientasi ke masa depan sesuai dengan perannya.   


D. Pelanggaran Etika Keperawatan

Berikut ini adalah contoh jenis-jenis pelanggaran berdasarkan kode etik keperawatan:

1. Pelanggaran Ringan

a) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Pasien 

Membiarkan pasien dalam keadaan tidak rapi.

Tidak mengorientasikan tempat (ruangan) dan petugas kesehatan kepada pasien.

Memberi informasi yang tidak optimal.

Tidak mencuci tangan setiap kali akan dan selesai berkontak dengan pasien atau melakukan tindakan. 

Kurang menunjukan sikap empati. 

Tidak memberi informasi pasien saat akan melakukan tindakan Keperawatan. 

Melakukan tindakan/ perilaku yang dapat mengganggu kenyamanan atau ketenangan kerja (berbicara keras, menghidupkan radio, TV, dll)

b) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Tugas 

Tidak berusaha memahami berbagai prosedur dan kebijakan rumah sakit yang terkait dengan tugas sebagai perawat.

c) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Sesama Perawat dan Profesi Lain

Kurang menghargai privacy, hasil kerja, martabat perawat lain atau profesi lain.

Tidak menghargai kelebihan/ prestasi perawat lain atau profesi lain. 

Tidak menghormati hak sesama perawat dan atau tenaga kesehatan lain. 

d) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Profesi Keperawatan

Berpenampilan tidak rapi, rambut tidak rapi/ gondrong, tidak memakai pakaian dinas/ seragam sesuai yang ditetapkan. 

2. Pelanggaran Sedang 

a) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Pasien 

Tidak memperhatikan kebersihan diri pasien, memandikan, menggosok gigi/ oral hygiene, vulva hygien.

Memberi informasi yang tidak bertanggung jawab yang membuat kecemasan pada pasien dan keluarga. 

Tidak memberikan bimbingan rohani/ menunjuk pada pemuka agama pada saat pasien membutuhkan/ dalam sakaratul maut.

Melakukan tindakan keperawatan tidak sesuai dengan protap yang dapat merugikan pasien tetapi tidak membahayakan jiwa.

Tidak membantu memenuhi kebutuhan eliminasi pada pasien yang butuh bantuan.

Tidak melakukan prosedur teknik aseptik/ antiseptik yang mengakibatkan terjadi infeksi.

Tidak melakukan tindakan pencegahan dikubitus (mengubah posisi, memberi pelembab, bedak, massage, mengganti alata tenun yang basah/ kotor).

b) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Tugas 

Menjalankan tugas tidak sesuai dengan prosedur tetap dan kebijakan rumah sakit yang berlaku.

Tidak melakukan antisipasi terhadap keamanan kenyamanan pasien.

Tidak memelihara mutu pelayanan dan asuhan keperawatan secara optimal. 

Tidak melakukan evaluasi setelah melakukan tindakan keperawatan (respon pasien, kondisi pasien dll).

Tidak mawas diri dalam melaksanakan tugas perawatan.  

c) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Sesama Perawat dan Profesi Lain

Tidak mau bekerjasama dalam tugas dengan    sesama perawat atau profesi lain. 

Tidak mau membantu perawat lain dalam menjalankan tugas saat dibutuhkan. 

Tidak memelihara suasana kerja yang harmonis dan kondusif.

Melemparkan tanggung jawab keapda perawat lain. 

Tidak mau memberi/ transformasi ilmu, keterampilan dan pengalaman kepada perawat lain atau profesi lain. 

Tidak mau menerima pengetahuan, pengalaman, keterampilan dari semua perawat dan profesi lain dalam rangka peningkatan keterampilan di bidang keperawatan. 

Membicarakan kekurangan/ keburukan perawat lain di depan/ kepada pasien/ keluarga. 

d) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Profesi Keperawatan

Menolak untuk meningkatkan pendidikan formal dan non formal. 

Tidak berupaya meningkatkan kemampuan profesional. 

Tidak menjunjung tinggi nama baik profesi dengan menunjukan perilaku dan sifat pribadi yang tercela, merokok diruang perawatan, tidak menggunakan seragam lengkap, menjelekkan profesi perawat atau organisasi profesi, mengeluarkan kata-kata kotor saat berdinas. 

3. Pelanggaran Berat 

a) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Pasien 

Tidak memenuhi kebutuhan nutrisi, cairan elektrolit. 

Tidak memenuhi kebutuhan oksigenisasi, kebersihan jalan nafas. 

Tidak memperhatikan/ mempertahankan sirkulasi kardiovaskuler.

Tidak bertindak pada saat pasien dalam keadaan sekarat/ henti jantung/ pain (kecuali keinginan keluarga).

Tidak memperhatikan keamanan pasien (pasien jatuh, tergelincir, keracunan, salah obat, salah transfusi dll).

Melakukan tindakan Keperawatan yang tidak sesuai prosedur tetap yang dapat menyebabkan kematian / kecacatan.

Memberikan informasi yang tidak benar / tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Meminta imbalan kepada pasien/ keluarga. 

Bersikap judes dan tidak ramah dalam melayani pasien/ keluarga (laporan tertulis/ lisan/ kotak saran).

Tidak menjaga kerahasiaan pasien/ keluarga pada profesi / orang yang berhak mengetahui.

Komunikasi yang tidak baik dan dimuat dimedia massa.

Mengunggah poto pasien di medsos saat sedang dilakukan tindakan atau terbius.

Tidak melakukan prosedur aseptik/ antiseptik.

Tidak menghargai agama pasien/ keluarga. 

Membedakan pelayanan keperawatan terhadap pasien berdasarkan status sosial dan martabat pasien.  

b) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Tugas 

Berulang kali melakukan tugas yang tidak sesuai dengan prosedur tetap dan kebijakan rumah sakit yang dapat merugikan pasien secara fisik/ mental.

Tidak memegang teguh rahasia jabatan. 

Bekerja dengan mempertimbangkan kesukuan, jenis kelamin, aliran politik, agama dan status sosial sesuai dengan keinginan pribadi. 

c) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Sesama Perawat dan Profesi Lain

Bertengkar dengan semua perawat atau profesi lain.

Melakukan tindakan tidak etis terhadap sesama perawat atau profesi lain. 

Mencelakakan perawat dan profesi lain. 

Mengadu domba sesama perawat atau profesi lain.

Melindungi perbuatan teman yang tidak etis/ praktek legal. 

d) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Profesi Keperawatan

Mengkomersialkan / memperjual belikan harta rumah sakit untuk kepentingan pribadi atau profesi Keperawatan. 

Menjual nama organisasi profesi Keperawatan untuk kepentingan pribadi, mencari dana atas nama profesi lain untuk kepentingan pribadi, promosi produk tertentu dikaitkan dengan profesi untuk kepentingan pribadi.

Menggunakan obat-obat terlarang/ alkohol saat bertugas.

Meninggalkan/ tidak dinas ketika dinas sore, malam tanpa izin. 

Meninggalkan/ tidak dinas selama 7 hari berturut-turut dalam satu bulan tanpa izin.  


Penanganan masalah etika Keperawatan merupakan penanganan masalah yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelanggaran masalah Kode Etik Keperawatan Indonesia dan Kode Etik Kebidanan. Yang bertanggung jawab dalam masalah etik adalah:

Direktur  Rumah Sakit

Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan.

Kepala Ruangan.

Ketua Komite Keperawatan melalui Sub Komite Etik Komite Keperawatan.

Untuk mekanisme penyelesaian masalah etika meliputi:

Membuat kronologis kejadian.

Menilai bobot masalah (pelanggaran  ringan, sedang, berat).

Penyelesaian  masalah secara berjenjang  yaitu : Kepala Ruangan, Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan, Direktur Rumah Sakit dengan melibatkan sub komite etik komite keperawatan, dan organisasi profesi (PPNI).  

 

Berikut ini penanganan masalah etika sesuai dengan jenis- jenis pelanggaran

a. Pelanggaran Ringan 

Pelanggaran ini ditangani/ diselesaikan oleh kepala ruangan.

Perawat yang melakukan pelanggaran diberi teguran lisan

Kepala ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang    pelayanan keperawatan dan harus diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan.

b. Pelanggaran Sedang

Kepala ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan keperawatan 

Pelanggaran ini ditangani oleh kepala bidang pelayanan keperawatan dan harus diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan.

Kepala bidang Pelayanan keperawatan memanggil perawat yang melakukan pelanggaran dan wajib/ harus membuat surat pernyataan, serta memberikan sangsi tertulis kepada perawat yang membuat pelanggaran. 

Pelanggar dialihkan tanggungjawabnya

c. Pelanggaran Berat 

Kepala Ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan  keperawatan.

Kepala bidang pelayanan keperawatan menyerahkan laporan yang sebelumnya sudah diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan ke Direktur.

Kepala bidang pelayanan keperawatan, Kepala Ruangan, Sub komite etik komite keperawatan serta Direktur bersidang untuk menentukan hukuman yang akan diberikan. 


E. Mekanisme Penanganan Masalah Etika

Penanganan masalah etika Keperawatan merupakan penanganan masalah yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelanggaran masalah Kode Etik Keperawatan Indonesia dan Kode Etik Kebidanan. Yang bertanggung jawab dalam masalah etik adalah:

Direktur  Rumah Sakit

Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan.

Kepala Ruangan.

Ketua Komite Keperawatan melalui Sub Komite Etik Komite Keperawatan.


Untuk mekanisme penyelesaian masalah etika meliputi:

Membuat kronologis kejadian.

Menilai bobot masalah (pelanggaran  ringan, sedang, berat).

Penyelesaian  masalah secara berjenjang  yaitu : Kepala Ruangan, Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan, Direktur Rumah Sakit dengan melibatkan sub komite etik komite keperawatan, dan organisasi profesi (PPNI).  

 

Berikut ini penanganan masalah etika sesuai dengan jenis- jenis pelanggaran

1. Pelanggaran Ringan 

Pelanggaran ini ditangani/ diselesaikan oleh kepala ruangan.

Perawat yang melakukan pelanggaran diberi teguran lisan

Kepala ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang    pelayanan keperawatan dan harus diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan.

2. Pelanggaran Sedang

Kepala ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan keperawatan 

Pelanggaran ini ditangani oleh kepala bidang pelayanan keperawatan dan harus diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan.

Kepala bidang Pelayanan keperawatan memanggil perawat yang melakukan pelanggaran dan wajib/ harus membuat surat pernyataan, serta memberikan sangsi tertulis kepada perawat yang membuat pelanggaran. 

Pelanggar dialihkan tanggungjawabnya


3. Pelanggaran Berat 

Kepala Ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan  keperawatan.

Kepala bidang pelayanan keperawatan menyerahkan laporan yang sebelumnya sudah diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan ke Direktur.

Kepala bidang pelayanan keperawatan, Kepala Ruangan, Sub komite etik komite keperawatan serta Direktur bersidang untuk menentukan hukuman yang akan diberikan. 


BAB VI

TANGGUNGJAWAB  DAN TANGGUNG GUGAT PERAWAT

 

A. Tanggung Jawab

Salah satu ciri perawat professional adalah melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan kode etik serta berdasarkan standar praktik keperawatan yang telah disepakati. Penjabaran dari tanggung jawab tersebut adalah:

1.     Tanggung jawab terhadap pasien

·         Memenuhi kebutuhan pelayanan keperawatan kepada pasien dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai kebutuhanya.

·         Melindungi pasien terhadap. hal yang dapat membahayakan merugikan dirinya dengan mengutamakan  keselamatan pasien.

·         Membantu pasien untuk menolong dirinya sendiri  dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan memelihara kesehatanya.

·         Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya.

2.     Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri

·         Melindungi dirinya dari kemungkinan tertular penyakit.

·         Melindungi dirinya dari gangguan yang dating dari lingkungan pekerjaan.

·         Menghindari konflik dengan orang lain dalam melakukan tugasnya melalui metode penyelesaian masalah.

3.     Tanggung jawab terhadap profesi

·         Mengadakan kerjasama dengan anggota tim kesehatan dalam melakukan tugasnya.

·         Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

·         Meningkatkan pengetahuan tentang ilmu keperawatan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

·         Melakukan kewajibanya dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat tradisi leluhur keperawatan.

·         Tidak akan mempraktikkan pengetahuan dan ketrampilan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma kemanusiaan.

·         Matang dalam pertimbangan kemampuan sejawat jika menerima atau mengalih tugaskan yang ada hubunganya dengan keperawatan

·         Menjunjung tinggi nama baik profesi dengan menunjukkan perilaku dan kepribadian yang tinggi.

·         Membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdianya.

4.     Tanggung jawab terhadap masyarakat

Menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan serta upaya kesejahteraan umum sebagai bagian tugas kewajibanya bagi masyarakat.

5.     Tanggung jawab terhadap bangsa dan tanah air

·         Perawat senantiasa mematuhi peraturan yang berlaku dan berperan aktif  menyumbangkan pikiranya kepada pemerintah guna meningkatkan pelayanan kesehatan, terutama keperawatan.

·         Memelihara suasana lingkungn yang menghormati nilai budaya, adat istiadat, dan kelangsungan hidup beragama dari pasien, individu, keluarga dan masyarakat.[1]

 

Menurut ICN (International Council Nurse) tanggungjawab perawat adalah sebagai berikut:

 

1.    Tanggung Jawab Utama Perawat

Tanggung jawab utama perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, memelihara kesehatan dan mengurangi penderitaan. Untuk melaksanakan tanggung jawab utama tersebut, perawat harus meyakini bahwa :

·     Kebutuhan terhadap pelayanan keperawatan di berbagai tempat adalah sama.

·     Pelaksanaan praktik keperawatan dititik beratkan pada penghargaan terhadap kehidupan yang bermartabat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

·     Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dan /atau keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, perawat mengikutsertakan kelompok dan instansi terkait.

2.    Perawat, Individu dan Anggota Kelompok Masyarakat

Tanggung jawab utama perawat adalah melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan masyuarakat. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas, perawat perlu meningkatkan keadaan lingkungan kesehatan dengan menghargai nilai-nilai yang ada di masyarakat, menghargai aadat kebiasaan serta kepercayaan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang menjadi pasien atau kliennya. Perawat dapat memegang teguh rahasia pribadi (privasi) dan hanya dapat memberikan keterangan bila diperlukaan oleh pihak yang berkepentingan atau pengadilan.

3.    Perawat dan Pelaksanaan Praktik Keperawatan

Perawat memegang peranan penting dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik keperawatan untuk mencapai kemampuan yang sesuai dengan standar pendidikan keperawatan. Perawat dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya secara aktif untuk menopang perannya dalam situasi tertentu. Perawat sebagai anggota profesi, setiap saat dapat mempertahankan sikap sesuai dengan standar profesi keperawatan.

4.    Perawat dan Lingkungan Masyarakat

Perawat dapat memprakarsai pembaharuan, tanggap, mempunyai inisiatif, dan dapat berperan serta secara aktif dalam menentukan masalah kesehatan dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

5.    Perawat dan Sejawat

Perawat dapat menopang hubungan kerja sama dengan teman kerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain di keperawatan. Perawat dapat melindungi dan menjamin seseorang, bila dalam masa perawatannya merasa terancam.

6.    Perawat dan Profesi Keperawatan

Perawat memainkan peran yang besar dalam menentukan pelaksanaan standar praktik keperawatan dan pendidikan keperawatan . Perawat diharapkan ikut aktif dalam mengembangkan pengetahuan dalam menopang pelaksanaan perawatan secara profesional. Perawat sebagai anggota profesi berpartisipasi dalam memelihara kestabilan sosial dan ekonomi sesuai dengan kondisi pelaksanaan praktik keperawatan.

 

B. Tanggung Gugat

Tanggung gugat dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu dan konsekunsi-konsekuensinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila bila ada pihak yang menggugat ia siap dan berani menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya.

Macam-macam jenis Tanggung Gugat :

1.  Contractual Liablity

Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakanya suatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Dalam kaitanya dengan hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Karena itu perawat  hanya bertanggung gugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice.

2.  Liability in Tort

Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum. Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain.

3.  Strict Liability

Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability whitout fault) mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.

4.  Vicarious Liability

Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka RS (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee).

Terjadinya hubungan perawat dan pasien dalam pelayanan kesehatan diawali dengan adanya transaksi terapeutik. Sejak seorang pasien mengunjungi tempat praktik perawat maka disitu terjadilah hubungan hukum. Hubungan hukum perawat dan pasien  termasuk dalam perjanjian pada umumnya yang dalam pasal 1234 BW ditentukan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Sebagai suatu perjanjian, maka hubungan antara perawat dengan asien harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 BW, yaitu:

1.  Kesepakatan para pihak yang mengikat dirinya

2.  Kecakapan para pihak untuk membuat perikatan/ melakukan kesepakatan

3.  Suatu hal tertentu

4.  Suatu sebab yang halal.[2]

Syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga tiak dipenuhinya salah satu diantara keempat syarat tersebut dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi batal.

Apabila Perawat sebagai tenaga kesehatan dalam hal berstatus sebagai pegawai rumah sakit sehungga atas pekerjaan yang dilakukanya berlaku Pasal 1367 BW sebagai berikut

“ Seseorang tidak saja  bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatanya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggunganya, …………… Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang yang dipakainya

 

Berdasarkan ketentuan di atas, maka perawat yang bekerja di rumah sakit tidak memikul tanggung gugat karena ia sebagai pegawai rumah sakit dalam menjalankan upaya pelayanan kesehatan yang merupakan fungsi dn tugas yang dipikul oleh rumah sakit sebagai suatu badan usaha yang menjalankan upaya kesehatan. Hal serupa juga telah tertuang dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang rumah Sakit. Namun undang-undang ini tidak berlaku bagi perawat yang menjalankan pelayanan kesehatan berupa praktik keperawatan mandiri. Dengan kata lain apabila perawat melakukan praktek mandiri dan melakukan kesalahan dalam pelayananya maka tanggung gugat terletak pada dirinya sendiri.[3]


[1] Ta’adi, 2018 “Hukum Kesehatan: Sanksi & Motivasi Bagi Perawat, Jakarta: EGC, hlm. 15-17.
[2] Sri Praptianingsih, 2007, Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya PelayananKesehatan d Rumah Sakit, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.112-123.
[3] Ibid, hlm.114.


 

BAB VII

HUBUNGAN HUKUM  PERAWAT DENGAN PASIEN

 

Hukum mengatur perilaku hubungan antar manusia sebagai subjek hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Dalam kehidupan manusia, baik secara perorangan maupun berkelompok, hukum mengatur perilaku hubungan baik antar manusia yang satu dengan yang lain, antar kelompok manusia, maupun antar manusia dengan dengan kelompok manusia.

 

A.  Hak dan Kewajiban Perawat

Sebagaimana Pasal 36 dan 37 UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, hak dan kewajiban perawat adalah sebagai berikut:

Hak

1.  memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundangundangan; 

2.  memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya.

3.  menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan; 

4.  menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan

5.  memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan  standar.

Kewajiban

1.  melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar Pelayanan Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundangundangan;

2.  memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan

3.  Peraturan Perundang-undangan;

4.  merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;

5.  mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;

6.  memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya;

7.  melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi Perawat; dan

8.  melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.

 

B.  Hak dan Kewajiban Pasien

Sebagaimana Pasal 38 dan 40 UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, hak dan kewajiban pasien adalah sebagai berikut:

Hak

1.  mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan Keperawatan yang akan dilakukan;

2.  meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;

3.  mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

4.  memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan diterimanya; dan

5.  memperoleh      keterjagaan kerahasiaan        kondisi kesehatannya.

Kewajiban

1.  memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang masalah kesehatannya;

2.  mematuhi nasihat dan petunjuk Perawat;

3.  mematuhi ketentuan yang berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan 

4.  memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

 

C.  Hak Pasien yang Meninggal

Pasien yang akan meninggal berhak diperlakukan sebagaimana manusia yang hidup sampai ajal tiba; mempertahankan harapannya, tidak peduli apapun perubahan yang terjadi; mendapatkan perawatan yang dapat mempertahankan harapannya, mengekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan dengan kematian yang sedang dihadapinya;  berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan perawatannya;  memperoleh perhatian dalam pengobatan dan perawatan secara berkesinambungan, walaupun tujuan penyembuhannya harus diubah menjadi tujuan memberikan rasa nyaman;  meninggal dalam kesendirian; bebas dari rasa sakit; memperoleh jawaban atas pertanyaannya secara jujur; memperoleh bantuan dari perawat atau medis untuk keluarga yang ditinggalkan agar dapat menerima kematiannya;  meninggal dalam damai dan bermartabat;  tetap dalam kepercayaan atau agamanya dan tidak diambil keputusan yang bertentangan dengan kepercayaan yang dianutnya; mengharapkan bahwa kesucian raga manusia akan dihormati setelah yang bersangkutan meninggal; memperdalam dan meningkatkan kepercayaannya, apapun artinya bagi orang lain;  mendapatkan perawatan dari orang yang professional, yang dapat mengerti kebutuhan dan kepuasaan dalam menghadapi kematian.[1]

 

D.  Peranan Hak dan Kewajiban dalam Etika Keperawatan

Dalam prinsip etika keperawatan, hak perawat dan pasien memiliki beberapa peranan atau manfaat yang sangat penting dalam dunia keperawatan. Berikut adalah peranan hak dan kewajiban dalam prinsip etika keperawatan.

1.  Mencegah konflik antara perawat dan pasien. Artinya dengan adanya hak dan kewajiban yang dilindungi oleh ketentuan hukum termasuk juga etika keperawatan maka perawat dan pasien tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Ada hak-hak dan kewajiban yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pihak. Hak dan kewajiban tersebut dilindungi oleh hukum yang berlaku.

2.  Pembenaran pada suatu tindakan. Maksudnya, hak dan kewajiban yang dimiliki oleh perawat maupun pasien sebenarnya membenarkan tindakan yang telah dilakukan sebelumnya (kewajiban). Misalnya, ketika seorang perawat mengobati pasien dengan baik dan benar sesuai dengan keahlian yang dimilikinya hingga pasien tersebut sembuh dari sakitnya, maka tentu hak perawat tersebut adalah mendapatkan penghargaan. Ketika perawat menerima penghargaan tersebut, maka sebenarnya pada saat yang sama muncul pembenaran terhadap pengobatan (pelayanan kesehatan) maupun kewajiban yang telah dilakukan sebelumnya terhadap pasien.

3.  Menyelesaikan perselisihan. Jika terjadi perselisihan antara pasien dan perawat termasuk dengan institusi sekalipun, prinsip hak dan kewajiban yang dilindungi oleh ketentuan hukum dapat menjadi pedoman penyelesaiannya. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa jika setiap pihak, baik perawat, pasien, maupun institusi keperawatan, berpegang teguh pada konsep hak dan kewajiban, maka perselisihan tidak akan terjadi. Misalnya, tidak akan pernah terjadi malpraktek karena pasien memiliki hak mendapatkan pelayanan yang baik.[2]


[1]Ngesti  W. Utami, dkk, Loc.Cit, hlm. 123-124.
[2] Ibid, hlm. 124.


BAB VIII

TUGAS DAN WEWENANG PERAWAT

 

A.  Pengertian Kewenangan

Kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu; hal berwenang; hak dan kekuasaanya yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.[1]

Dalam Black Law Dictionary kewenangan di artikan lebih luas, tidak hanya melakukan praktek kekuasaan, tetapi kewenangan juga di artikan dalam konteks menerapkan dan menegakan hukum, adanya ketaatan yang pasti, mengandung perintah, memutuskan, adanya pengawasan yuridiksi bahkan kewenangan di kaitkan dengan kewibawaan, charisma, dan bahkan kekuatan fisik.[2]

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa: “wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut H.D. Stout dalam Ridwan HR mengatakan bahwa:

“Bovoegdheid is een begrip het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omshreven als het geheel van regels dan betrekking heelf op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurrechtelijke rechtsverkeer”.

 

(Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat di jelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).[3]

Menurut Bagir Manan dalam Ridwan HR,wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.[4] Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.

Menurut Philipus M. Hadjon, dalam hukum tata negara wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kewenangan dapat diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, sedangkan delegasi dan mandat adalah pemindahan/ pengalihan suatu kewenangan yang ada.[5]

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau diberi oleh kekuasaan eksekutif dan administratif. Dan didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang.[6]

Menurut P. Nocolai dalam Ridwan HR, kewenangan berkaitan dengan hak dan kewajiban yaitu:

“(Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen [handelingen die op rechtgevolg gericht zijn en dus ertoe strekken dat bepaalde rechtsvolgen onstaan of teniet gaan]. Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te verrichten of n ate laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten of n ate laten)”.

 

(Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu [yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum]. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).

 

B.  Sumber Kewenangan

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt membagi macam-macam kewenangan sebagai berikut:

1.     Attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan),

2.     Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainya),

3.     Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitofenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenanganya dijalankan oleh organ lain atas namanya).[7]

 

Untuk memperjelas perbedaan yang mendasar antara wewenang atribusi, delegasi, dan mandat, berikut dikemukakan skema tentang perbedaan tersebut sebagai berikut:

 

 

 

 

 

Tabel: 3.1

Perbedaan Cara Perolehan dan Tanggungjawab Wewenang Pemerintahan

 

Atribusi

Delegasi

Mandat

Cara Perolehan

Perundang-undangan

Pelimpahan

Pelimpahan

Kekuatan mengikatnya

Tetap melekat sebelum ada perubahan peraturan perundang-undangan.

Dapat dicabut atau ditarik kembali apabila ada pertentangan atau penyimpangan (contrazuz actus).

Dapat ditarik atau digunakan sewaktu-waktu oleh pemberi wewenang (mandans).

Tanggungjawab dan tanggung gugat

Penerima wewenang bertanggungjawab mutlak akibat yang timbul dari wewenang.

Pemberi wewenang (delegans) melimpahkan tanggungjawab dan tanggung gugat kepada penerima wewenang (delegataris).

Berada pada pemberi mandat (mandans).

Hubungan wewenang

Hubungan hukum pembentuk undang-undang dengan organ pemerintahan.

Berdasarkan atas wewenang atribusi yang dilimpahkan kepada delegataris.

Hubungan yang bersifat internal Antara bawahan degan atasan

 

  Sumber: Nomensen Sinamo, (2016).

 

Berdasarkan  Chapter 101 (mandate, delegation and conferral of power) General Administrative Law Act (GALA) Belanda, perbedaan atribusi, delegasi dan mandat dapat diuraikan sebagai berikut:

Tabel: 4.2

Perbedaan Atribusi, Delegasi, dan Mandat Menurut General Administrative Law Act (GALA) Belanda

 

ATRIBUSI

DELEGASI

MANDAT

Atribusi adalah wewenang badan/ pejabat TUN yang bersumber pada konstitusi/ undang-undang.

a)  Delegasi pelimpahan wewenang dari satu badan/ pejabat TUN kepada badan/ pejabat TUN lainya, dan tanggung jawab atas wewenang itu ikut beralih kepada badan/ pejabat TUN yang menerima limpahan wewenang,

b)  Delegasi tidak boleh kepada bawahan (no delegation to subordinates),

c)  Delegasi hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.

a)   Mandat adalah wewenang untuk mengambil keputusan atas nama badan/ pejabat TUN yang memberikan mandat,

b)   Pengambilan keputusan oleh penerima mandat (mandatory) berdasarkan pertimbangan pemberi mandat (mandator). Mandat dapat diberikan secara umum (general mandate) atau secara khusus (special mandate).

Sumber: A’an dan Freddy, (2017).

 

C.  Tugas dan Wewenang Perawat dalam Melaksanakan Pelayanan Kesehatan

Tugas dan wewenang perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan secara umum sebagaimana dimaksud pada UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan adalah sebagai berikut:

1.  Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, perawat berwenang:

a.     melakukan pengkajian keperawatan secara holistik;

b.     menetapkan diagnosis keperawatan;

c.     merencanakan tindakan keperawatan;

d.     melaksanakan tindakan keperawatan;

e.     mengevaluasi hasil tindakan keperawatan;

f.      melakukan rujukan;

g.     memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;

h.     memberikan konsultasi keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;

i.      melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan

j.      melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.

2.  Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat, perawat berwenang:

a.     melakukan pengkajian keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga dan kelompok masyarakat;

b.     menetapkan permasalahan keperawatan kesehatan masyarakat;

c.     membantu penemuan kasus penyakit;

d.     merencanakan tindakan keperawatan kesehatan masyarakat;

e.     melaksanakan tindakan keperawatan kesehatan masyarakat;

f.      melakukan rujukan kasus;

g.     mengevaluasi hasil tindakan keperawatan kesehatan masyarakat;

h.     melakukan pemberdayaan masyarakat;

i.      melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;

j.      menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;

k.     melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;

l.      mengelola kasus; dan

m.    melakukan penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternatif.

3.  Dalam menjalankan tugas sebagai penyuluh dan konselor bagi klien, perawat berwenang:

a.     melakukan pengkajian keperawatan secara holistik di tingkat individu dan keluarga serta di tingkat kelompok masyarakat;

b.     melakukan pemberdayaan masyarakat;

c.     melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;

d.     menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat; dan

e.     melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling.

4.  Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola pelayanan keperawatan, Perawat berwenang:

a.     melakukan pengkajian dan menetapkan permasalahan;

b.     merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pelayanan keperawatan; dan

c.     mengelola kasus.

5.  Dalam menjalankan tugasnya sebagai peneliti keperawatan, perawat berwenang;

a.     melakukan penelitian sesuai dengan tandard an etika;

b.     menggunakan sumber daya pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atas izin pimpinan; dan

c.     menggunakan pasien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.  Dalam melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perawat berwenang:

a.  melakukan tindakan medis yang sesuai dengan kompetensinya atas pelimpahan wewenang delegatif tenaga medis;

b.  melakukan tindakan medis di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat; dan

c.   memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan program Pemerintah.

7.  Dalam melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu, Perawat berwenang:

a.  melakukan pengobatan untuk penyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga medis;

b.  merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukan; dan

c.   melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal tidak terdapat tenaga kefarmasian.

 

D.  Pola Hubungan Kerja Perawat

Pola hubungan kerja perawat menurut Hasyim dalam Ngesti W. Utami adalah sebagai berikut:[8]

1. Hubungan kerja perawat dengan pasien

Pasien adalah fokus dari upaya asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat sebagai salah satu komponen tenaga kesehatan. Hubungan perawat dan pasien adalah hubungan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk pencapaian tujuan klien. Dalam hubungan itu, perawat menggunakan pengetahuan komunikasi guna memfasilitasi hubungan yang efektif. Dasar hubungan antara perawat dengan pasien adalah hubungan yang saling menguntungkan (mutual huminity). Hubungan yang baik antara perawat dan pasien terjadi apabila: 

a.  Terdapat rasa saling percaya antara perawat dan pasien.

b.  Perawat benar-benar memahami tentang hak-hak pasien dan harus melindungi hak tersebut, salah satunya hak untuk menjaga privasi pasien.

c.   Perawat harus sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada pribadi pasien yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, antara lain kelemahan fisik dan ketidakberdayaan.

d.  Perawat harus memahami keberadaan pasien atau klien sehingga dapat bersikap sabar dan tetap memperhatikan pertimbangan etis dan moral.

e.   Dapat bertanggungjawab dan bertanggung gugat atas segala resiko yang mungkin timbul selama pasien dalam perawatan.

f.   Perawat sedapat mungkin berusaha untuk menghindari konflik antara nilai-nilai pribadinya dan nilai pribadi pasien dengan cara membina hubungan yang baik antara pasien, keluarga dan teman.  

2. Hubungan kerja perawat dengan sejawat

Perawat dalam menjalankan tugasnya harus dapat membina hubungan baik dengan semua perawat yang berada di lingkungan kerjanya.Dalam membina hubungan tersebut, sesama perawat harus terdapat rasa saling menghargai dan tenggang rasa yang tinggi agar tidak terjebak dalam sikap saling curiga dan benci.

Perawat dan teman sejawat selalu menunjukkan sikap memupuk rasa perandaan dengan silih asuh, silih asih, silih asah.

a.  Silih asuh artinya sesama perawat diharapkan saling membimbing, menasihati, menghormati, dan mengingatkan bila sejawat melakukan kesalahan atau kekeliruan. 

b.  Silih asih artinya setiap perawat dalam menjalankan tugasnya diharapkan saling menghargai satu sama lain, saling kasih mengasihi sebagai anggota profesi, saling bertenggang rasa dan bertoleransi yang tinggi sehingga tidak terpengaruh oleh hasutan yang dapat membuat sikap saling curiga dan benci.

c.   Silih asah artinya perawat yang merasa lebih pandai/tahu dalam hal ilmu pengetahuan diharapkan membagi ilmu yang dimilikinya kepada rekan sesama perawat tanpa pamrih.  

3. Hubungan kerja perawat dengan profesi lain yang terkait

Dalam melaksanakan tugasnya, perawat tidak dapat bekerja sendiri tanpa berkolaborasi dengan profesi lain. Profesi lain tersebut diantaranya adalah dokter, ahli gizi, ahli farmasi, tenaga laboratorium, tenaga rontgen dan sebagainya. 

Dalam menjalankan tugasnya, setiap profesi dituntut untuk mempertahankan kode etik profesi masing-masing. Kelancaran tugas masing-masing profesi tergantung dari ketaatannya dalam menjalankan dan mempertahankan kode etik profesinya.

Bila setiap profesi telah dapat saling menghargai, maka hubungan kerja sama akan dapat terjalin dengan baik, walaupun pada pelaksanaannya sering juga terjadi konflik-konflik etis.

4. Hubungan kerja perawat dengan institusi tempat bekerja

Terbinanya hubungan kerja yang baik antara perawat dengan institusi tempat bekerja, dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.  Menanamkan nilai dalam diri perawat bahwa bekerja itu tidak sekedar mencari uang, tapi juga perlu hati yang ikhlas.

b.  Bekerja juga merupakan ibadah, yang berarti bahwa hasil yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh rasa tanggung jawab akan dapat memenuhi kebutuhan lahir dan batin. 

c.   Tidak semua keinginan individu perawat akan pekerjaan dan tugasnya dapat terealisasi dengan baik sesuai dengan nilai-nilai yang ia miliki. 

d.  Upayakan untuk memperkecil terjadinya konflik nilai dalam melaksanakan tugas keperawatan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi tempat kerja.

e.   Menjalin kerjasama dengan baik dan dapat memberikan kepercayaan kepada pemberi kebijakan bahwa tugas dan tanggung jawab keperawatan selalu mengalami perubahan sesuai IPTEK.


[1] Moh. Kusnandi, 2013, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: CV Cahaya Agency, hlm. 568.
[2] Agus Roni Arbaben, 2017, Pengertian Kewenangan, Sumber-Sumber Kewenangan Dan Kewenangan Membentuk Undang-Undang, diakses pada: https://agusroniarbaben.wordpress.com/2017/06/03/pengertian-kewenangan-sumber-sumber-kewenangan-dan-kewenangan-membentuk-undang-undang/ (Tanggal 3 Oktober 2018).
[3] Ridwan HR, 2014, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 98.
[4] Ibid, hlm. 99.
[5]Philipus, dkk, 2015, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 125.
[6] A’an dan Freddy, 2017, Hukum Administrasi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 111.
[7] Ibid, hlm. 102.
[8] Ngesti W. Utami, Loc. Cit, hlm. 125-127.


BAB IX

MALPRAKTIK KEPERAWATAN

 

Menurut American Nurses Association (ANA), "Standar Praktik Keperawatan Profesional adalah pernyataan berwibawa dari tugas bahwa semua perawat terdaftar, terlepas dari peran, populasi atau keahlian khusus diharapkan tampil dengan kompeten" (2010, hal 2). ANA selanjutnya menyatakan bahwa standar dapat berubah karena dinamika keperawatan profesional berevolusi dan keadaan klinis atau kondisi spesifik dapat mempengaruhi penerapan standar pada waktu tertentu (ANA, 2010). Pada tahun 2010, ANA mendukung perawatan WOC sebagai praktik khusus (Wound, Ostomy and Continence Nurses Society, 2010). Oleh karena itu, penting bagi perawat WOC untuk menyadari standar dan cakupan praktik sebagai panduan dasar untuk mencapai kesempurnaan dalam praktik dan untuk mengenali implikasi hukum dari standar dan definisi lingkup praktik.

Aspek hukum keperawatan memiliki dampak pada cara perawatan diberikan kepada pasien oleh perawat. Masalah hukum membentuk lingkungan di mana keperawatan dipraktekkan dan menentukan bagaimana dokumen disimpan atau dibagi. Pada akhirnya, perawat dan asuhan keperawatan yang mereka berikan dinilai berdasarkan definisi hukum untuk standar perawatan bagi perawat. "Standar perawatan" tertulis dan "pedoman" tersedia sebagai sumber untuk menentukan bagaimana asuhan keperawatan disampaikan dan kualitas asuhan. Namun, definisi hukum tentang standar perawatan untuk perawat bukanlah "pedoman" atau "kebijakan" yang ditetapkan oleh seseorang atau institusi manapun. Sebaliknya, ini adalah perwujudan pengetahuan kolektif untuk apa yang dibutuhkan perawat rata-rata dan menetapkan kriteria minimum untuk kemahiran.

Malpraktek itu sendiri merupakan kelalaian, kesalahan, atau pelanggaran tugas oleh profesional yang mengakibatkan cedera /kerusakan pada pasien. Menurut Reising dan Allen, klaim malapraktik muncul terhadap perawat saat perawat gagal:

·     Menilai dan memantau.

·     Mengikuti  standar perawatan.

·     Menggunakan peralatan secara bertanggung jawab.

·     Menyampaikan.

·     Mendokumentasikan.

·     Bertindak sebagai advokat pasien dan mengikuti rantai komando.

 

A.  Unsur Malpraktik

Kelalaian Medis terdapat 4 kriteria “4D” yang secara kumulatif semuanya harus terbukti untuk menjatuhkan sanksi bagi tenaga kesehatan untuk membayar ganti rugi kepada pasien/keluarganya dalam forum pengadilan. Ke 4 D tersebut adalah sebagai berikut :

1.  Duty of care by the doctor to the injured patient (kewajiban) yaitu tenaga kesehatan yang digugat memang mempunyai kewajiban (duty) sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.

2.  Dereliction of duty (pelanggaran kewajiban) yakni, adanya wanprestasi atau melalaikan kewajiban (dereliction of duty).

3.  Damage (kompensasi kerugian) yang foreseeable, yakni telah terjadi kerugian (damage atau compensable injury).

4.  Direct cause (sebab langsung) yakni pelanggaran kewajiban mengakibatkan kerugian, adanya hubungan langsung antara kerugian itu dengan kelalaian melaksanakan kewajiban (direct causation).

 

B.   Jenis-Jenis Malpraktik

Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).

1.    Malpraktik Medik (medical malpractice)

John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).

Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.

2.    Malpraktik Etik (ethical malpractice)

Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter. Hal ini juga serupa bagi penyelenggara keperawatan sebagai penerima tangungjawab dari dokter.

3.    Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)

Malpraktik yuridis adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.

Malpraktik Yuridis meliputi:

a.  Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktik perdata terjadi jika dokter dan tenaga kesehatan tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter dan tenaga kesehatan yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :

§  Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan

§  Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna

§  Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat

§  Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan

b.  Malpraktik Pidana (criminal malpractice)

Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalaian.

Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :

·     Melakukan aborsi tanpa tindakan medik

·     Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja

·     Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan      darurat

·     Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar

·     Membuat visum et repertum tidak benar

·     Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli

Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:

·     Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut

·     Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal

c.   Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)

Malpraktik administrasi terjadi jika dokter  dan tenaga kesehatan menjalankan profesinya tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:

·     Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin

·     Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya

·     Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.

·     Tidak membuat rekam medik.

 

C.   Klasifikasi Kegagalan Medis

Di dalam hukum kesehatan kegagalan dalam tindakan dan/pengobatan dikenal 3 (tiga) istilah, yakni:

1.    Risiko Medis

Risiko (risk) mengandung pengertian “the possibility of something bad happening at some time in the future; a situation that could be dangerous or have a bad result”yang artinya kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi pada suatu waktu di masa depan; situasi yang bisa berbahaya atau berdampak buruk.
Risiko medis dapat dimaknai sebagai suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan setelah tenaga kesehatan tersebut berusaha semaksimal mungkin dan juga sesuai standar profesi, standar playanan, dan standar profesional prosedur telah terpenuhi, namun kecelakaan itu tetap terjadi.

Misalnya: pada saat melakukan Sectio Caesarea dokter obgyn bersama perawat asisten bedah, pasien mengalami syok hipovolemik karena perdarahan yang tidak kunjung berhenti. Dokter anestesi nampak juga terlibat membantu persalinan tersebut. Dokter anestesi melakukan resusitasi cairan dan dokter obgyn berusaha menghentikan perdarahan tersebut akan tetapi nyawa pasien tidak bisa diselamatkan.

2.    Komplikasi Medis

Komplikasi medis adalah sebuah perubahan yang tak diinginkan dari suatu tindakan atau pemberian terapi. Kondisi yang memperburuk atau menunjukkan jumlah gejala yang lebih besar atau perubahan patologi, yang menyebar ke seluruh tubuh atau berdambak pada sistem organ lainya.

Misalnya: perawat/dokter memberikan obat antibiotik kepada pasien yang mana sebelumnya pasien/keluarga tidak mengetahui bahwa pasien itu alergi terhadap obat tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya syok anafilatik pada pasien.

3.    Malpraktik medis

Menurut Black’s Law Dictionary, mendefinisikan malpraktik sebagai:

 “professional misconduct or Unreasonable lack or skill atau failure of one rendering proffesinal services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by average prudent reputable member of the profession damage to the recipiebt or those services or those entilited to rely upon them”.

Dari pengertian tersebut diatas, dengan menggunakan perspektif hukum, dapat dimaknai bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentinal) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang mahiran yang tidak beralasan.

Malpraktik medis adalah kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia.

Misalnya: perawat asisten bedah dan dokter bedah meninggalkan instrument berupa kasa atau jarum bedah di dalam tubuh pasien.

 

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa setiap adanya dugaan terjadi malpraktik medis belum tentu itu merupakan kelalaian medis. Bisa saja hal itu merupakan komplikasi medis, karena banyak kasus terjadi di masyarakat orang-orang salah membedakan yang mana itu bentuk kelalaian dan yang mana itu komplikasi atau cedera medis.

 

 

 BAB X

SANKSI HUKUM DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

 

Sanksi dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda, sanctie, seperti dalam poenale sanctie yang terkenal dalam sejarah Indonesia pada masa kolonial Belanda. Sanksi adalah alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang berlaku.

Menurut “Black's Law Dictionary Seventh Edition”, sanksi (sanction) adalah:

“A penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)”

 

Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu:

A.     Sanksi Hukum Pidana

Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo, hukuman adalah:

“Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”

 

Hukuman sendiri diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:

1.     Hukuman pokok, yang terbagi menjadi:

a.     hukuman mati;

b.     hukuman penjara;

c.      hukuman kurungan;

d.     hukuman denda.

2.     Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi:

a.     pencabutan beberapa hak yang tertentu;

b.     perampasan barang yang tertentu;

c.      pengumuman keputusan hakim.

 

Berikut adalah contoh sanksi hukum pidana bagi perawat yang banyak terjadi di masyarakat:

·       UU No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 62 (2)

Pelaku usaha yang merugikan konsumen dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

·       UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 78

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

·       UU No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 103

Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

·       UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pasal 191

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 196

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 

Pasal 198

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

·       UU No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

Pasal 85 (1)

Setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 86 (1)

Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

·       KUHP

Pasal 290 ayat (1)

Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 322 ayat (1)

Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpanya karena jabatan atau pencarianya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Pasal 359

Barang siapa karena kesalahanya (kealpaanya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360 ayat (1)

Barang siapa karena kesalahanya (kealpaanya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360 ayat (2)

Barang siapa karena kesalahanya (kealpaanya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

 

B.     Sanksi Hukum Perdata

Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa:

1.  putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Contoh: salah satu pihak dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara;

2.  putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Contoh: putusan yang menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa;

3.  putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Contoh: putusan yang memutuskan suatu ikatan kontrak.

Jadi, dalam hukum perdata, bentuk sanksi hukumnya dapat berupa:

·     kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban);

·     hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.

Sedangkan dalam praktiknya, hakim yang mengadili dan memutus perkara perdata juga dapat menghukum pihak yang berperkara berupa:

·     pembayaran ganti rugi materiil;

·     pembayaran ganti rugi immateriil.

 

Dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebut bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang (pihak) lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.

 

C.     Sanksi Administrasi/Administratif

Sedangkan untuk sanksi administrasi/administratif, adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Pada umumnya sanksi administrasi/ administratif berupa;

a)  Teguran lisan,

b)  Peringatan  tertulis,

c)   Denda administratif,

d)  Pencabutan izin praktik.

 

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa alasan aparat penegak hukum tidak menggunakan UU No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan dalam mengadli perawat yang melakukan pelanggaran hukum, malah justru memakai peraturan perundang-undangan yang lain, adalah karena dalam UU No. 38 tahun 2014 tidak mencantumkan ketentuan pidana. Sehingga aparat penegak hukum biasanya memakai pasal dalam UU No. 36 tahun 2004 tentang Kesehatan dan UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, KUHP dalam menjerat perawat yang melakukan pelanggaran.

 

BAB XI

PERLINDUNGAN HUKUM

BAGI PERAWAT DAN PASIEN

 

Menurut Soedikno Mertokusumo, perlindungan hukum adalah jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam hubungan manusia.[1]

Pasal 3 ayat (3) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa, “setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Hal ini sesuai dengan teori Satjipto Raharjo yang menyatakan bahwa, perlindungan hukum adalah memberi pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.[2]

Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan Pancasila.[3]

Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yaitu:

·     Perlindungan hukum preventif, yang dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan patokan bagi setiap tindakan yang akan dilakukan masyarakat, meliputi seluruh aspek tindakan manusia.

·     Perlindungan hukum represif, berwujud adanya badan-badan hukum yang mengurus dalam upaya penyelesaian sengketa, yang terdiri dari pengadilan dalam lingkup peradilan umum, dan Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.[4]

Menurut Sukendar, perlindungan hukum perawat adalah tindakan atau upaya untuk melindungi perawat dari perbuatan sewenang-wenang oleh orang lain yang tidak sesuai dengan aturan hukum. Perlindungan tersebut diberikan kepada perawat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh perawat  sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Strategi perlindungan hukum bagi perawat komplementer-alternatif antara lain:

·     Upaya preventif : melengkapi administrasi (STR, SIPP, sertifikasi keahlian, SOP) dalam praktik keperawatan mandiri, mempelajari peraturan-peraturan tentang hukum kesehatan yang berkembang di Indonesia, organisasi profesi dan organisasi seminat mendesak atau mengusulkan payung hukum (Perda / otonomi daerah) setempat untuk membuat peraturan tentang perlindungan hukum terhadap nakes (di dalamnya perawat), organisasi profesi menjalin kerjasama dengan Kapolda, Kapolres, Kapolsek setempat, organisasi profesi dan organisasi seminat menjalin hubungan dengan Ketua  adat atau pemuka agama setempat, organisasi profesi menjalin kerjasama dengan Ormas yang ada didaerahnya.

·     Upaya represif : melakukan advokasi yaitu di mulai dari pendampingan hukum, melakukan mediasi dalam penyelesaian sengketa, membela dan memastikan bahwa perawat tersebut mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum. Selain itu memastikan bahwa perawat tersebut telah memberikan ganti rugi.[5]

 

Sedangkan Menurut Rudi Yulianto, perlindungan hukum bagi pasien dalam pelayanan keperawatan secara mandiri sampai sekarang belum ada perlindungan hukumnya sehingga pasien sebagai konsumen layanan jasa bisa menggunakan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk mendapatkan perlindunganya. Berbeda dengan perawat, dalam kontrak terapeutik perawat di lindungi oleh Undang-Undang. Dalam UU Kesehatan, pasien berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Layanan kesehatan merupakan bentuk jasa sebagaimana dalam point 5 (lima) UU No.8 tahun 1999 bahwa yang disebut jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.[6]

 

Berikut ini adalah perlindungan hukum bagi pasien dan perawat yang tertera dalam peraturan perundang-undangan:

1.  Undang-Undang Dasar 1945

·       Pasal 28D ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Penjelasan Penulis: Pasal 28D ayat (1) menandakan bahwa setiap orang termasuk perawat dan pasien memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum dari Negara Indonesia.

·       Pasal 28 I ayat (4) berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Penjelasan Penulis: Hak pasien pada Fasyankes adalah mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar profesi dan mendapatkan perlindungan hukum. Dan pada pasal 28I ayat (4) membuktikan bahwa pemerintah melindungi hak-hak tersebut.

2.  Undang-Undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

·       Pasal 3 berbunyi, Perlindungan konsumen bertujuan:

a.     meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b.    mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c.     meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d.    menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e.     menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f.      meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Penjelasan Penulis: Pasal di atas telah menunjukkan bahwa Undang-Undang tersebut melindungi pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan.

·       Pasal 4 berbunyi, hak konsumen adalah:

a.     hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b.    hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c.     hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d.    hak untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e.     hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f.      hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g.     hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Penjelasan Penulis: seperti kita ketahui bahwa jasa merupakan barang yang tidak berwujud namun bisa diperjual belikan. Sehingga pasal di atas menunjukkan perlindungan hukum secara preventif dan represif.

·       Pasal 6 huruf b berbunyi “ pelaku usaha berhak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik”

Penjelasan Penulis: pasal 6 menunjukkan bahwa tenaga kesehatan selaku penjual jasa juga mendapat perlindungan hukum.

·       Pasal 7 huruf f dan g berbunyi:

~       f : Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

~       g : Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Penjelasan Penulis:  Pasal 7 huruf f dan g menunjukkan upaya perlindungan hukum represif terhadap pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan.

·       Pasal 19  ayat (1) berbunyi “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.

Penjelasan Penulis: Pasal di atas menunjukkan perlindungan hukum represif kepada pasien yang merasa telah di rugikan atas pelayanan kesehatan.

·       Pasal 45 berbunyi:

(1)    Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

(2)    Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3)    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

(4)    Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.

Penjelasan Penulis: Pasal di atas merupakan upaya perlindungan hukum represif, karena mendeskripsikan tentang mediasi yaitu jalur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa.

·       Pasal 47 berbunyi “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Penjelasan Penulis: Pada Pasal 47 juga menggambarkan bentuk perlindungan hukum kepada pasien.

3.  Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

·       Pasal 27 ayat (1) berbunyi “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

Penjelasan Penulis: Pasal 27 ayat (1) menunjukkan bahwa tenaga kesehatan (termasuk di antaranya perawat) berhak mendapatkan perlindungan hukum. Itu berarti perawat yang melakukan pelayanan komplementer-anternatif juga dilindungi oleh pemerintah.

·       Pasal 29 berbunyi “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus di selesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.

Penjelasan Penulis: Pasal  29 menjelaskan bahwa antara kedua belah pihak bila terjadi perselisihan maka harus diselesaikan melalui mediasi. Mediasi merukan upaya perlindungan hukum represif.

·       Pasal 58 ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Penjelasan Penulis: Pasal 58 ayat (1) menunjukkan bahwa apabila tenaga kesehatan dalam hal ini perawat yang melakukan pelayanan komplementer-alternatif telah menimbulkan kerugian kepada pasien maka pasien tersebut berhak menuntut ganti rugi. Dan ganti rugi merupakan salah satu upaya perlindungan hukum represif.

·       Pasal 58 ayat (2) berbunyi “tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

Penjelasan Penulis: Pasal 58 ayat (2) secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemerintah melindungi tenaga kesehatan termasuk perawat apabila melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pecegahan kecacatan pasien yaitu dengan tidak membebankan ganti rugi.

4.  Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

·     Pasal 3 berbunyi: Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

a.  mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;

b.  memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;

c.   meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan

d.  memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya  manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Penjelasan: pasal diatas menunjukkan bahwa Rumah Sakit memberikan perlindungan hukum bagi pasien beserta karyawanya.

·     Pasal  6 ayat (1) berbunyi: Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk :

a.  menyediakan   Rumah  Sakit  berdasarkan kebutuhan masyarakat; 

b.  menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

c.   membina  dan  mengawasi  penyelenggaraan Rumah Sakit;

e.   memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bertanggung jawab; memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f.   menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah Sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat;

g.   menyediakan   informasi    kesehatan  yang dibutuhkan oleh masyarakat;

h.  menjamin  pembiayaan pelayanan kegawat daruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa

i.    menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan; dan

j.    mengatur pendistribusian dan penyebaran alat kesehatan berteknologi tinggi dan bernilai tinggi.

Penjelasan Penulis: Pasal di atas menunjukkan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi rumah sakit dan pasien dalam pelayanan kesehatan.

·     Pasal 13 ayat (3) berbunyi: Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.

Penjelasan Penulis: Pasal 13 ayat (3) menggambarkan perlindungan hukum secara preventif bagi pasien. Karena apabila tenaga kesehatan melakukan pelayanan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi pasti dapat mencegah terjadinya malpraktik.

·     Pasal 29 ayat (1) huruf b berbunyi: Tenaga kesehatan wajib memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;

Penjelasan Penulis: Pasal tersebut menjelaskan bahwa dengan meningkatkan patient safety berarti juga memberikan pelayanan yang aman dan bermutu. Pasal tersebut juga termasuk upaya perlindungan hukum.

·     Pasal 32 Setiap pasien mempunyai hak:

a.  memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

b.  memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

c.   memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

d.  memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

e.   memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; 

f.   mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

g.   memilih  dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

h.  meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

i.    mendapatkan privasi dan  kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya; 

j.    mendapat   informasi  yang  meliputi   diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

k.  memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; 

l.    didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

n.  memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;

o.  mengajukan  usul,  saran,  perbaikan  atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; 

p.  menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

q.  menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

r.   mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui  media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan: Pasal 32 huruf c,d,e,f,n, q dan r, merupakan bentuk perlindungan hukum bagi pasien secara preventif dan represif.

·     Pasal   46 : Rumah  Sakit  bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian  yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Penjelasan: pasal 46 merupakan bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas selama berada di lingkungan Rumah Sakit.

5.  Undang-Undang No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

·     Pasal 4 ayat (2) berbunyi “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”. 

Penjelasan Penulis: Pasal di atas menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan yang aman juga termasuk perlindungan hukum secara preventif.

·     Pasal 19 berbunyi “Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau”.

Penjelasan Penulis: Pasal 19 memberikan kewenangan kepada pemerintah secara atributif dalam memberikan upaya perlindungan hukum preventif bagi pasien.

·     Pasal 27  ayat (1) berbunyi “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

Penjelasan Penulis: Pasal 27 ayat (1) menunjukkan bahwa Tenaga Kesehatan juga mendapatkan perlindungan hukum.

·     Pasal 29 berbunyi “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.

Penjelasan Penulis: Pasal 29 menggambarkan upaya perlindungan hukum secara  represif bagi tenaga kesehatan dan pasien.

·     Pasal 58  ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.

Penjelasan Penulis: Pasal di atas merupakan bentuk perlindungan hukum secara represif bagi pasien.

·     Pasal 48 ayat (1) berbunyi “Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan”.

Penjelasan Penulis: Pasal di atas memerintahkan stake holder yang bersangkutan dalam menjamin dan perlindungan hukum bagi pasien dan tenaga kesehatan.

·     Pasal 57 a berbunyi “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.

Pasal 57 ayat a menunjukkan bahwa tenaga kesehatan, termasuk perawat dilindungi oleh Pemerintah selama menjalankan tugas dengan benar.

·     Pasal 58 (1) huruf a berbunyi: Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;

Penjelasan Penulis: Pasal di atas menunjukkan bahwa apabila perawat bekerja sesuai dengan standar mampu meminimalisir terjadinya malpraktik. Ini merupakan salah satu upaya perlindungan hukum secara preventif

·     Pasal 74 berbunyi: Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki STR dan izin untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Penjelasan Penulis: Dengan melengkapi administrasi dalam pelayanan kesehatan, hal itu dapat mencegah terjadinya tindak pidana.

·     Pasal 75 berbunyi: Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

·     Pasal 76 berbunyi: Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam meningkatkan dan menjaga mutu pemberian pelayanan kesehatan dapat membentuk komite atau panitia atau tim untuk kelompok Tenaga Kesehatan di lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

·     Pasal 77 berbunyi: Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Penjelasan Penulis: Pasal 75 dan 76 merupakan upaya perlindungan hukum prevenif bagi tenaga kesehatan, sedangkan pasal 77 merupakan upaya perlindungan hukum represif bagi pasien.

6.  Undang-Undang No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan

·    Pasal 36 huruf a berbunyi “perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

·    Pasal 38 huruf c berbunyi “setiap orang berhak mendapatkan pelayanan keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

Penjelasan Penulis: Pasal 36 huruf a dan pasal 38 huruf c menunjukkan antara perawat dan pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum selama dalam menjalankan pelayanan keperawatan. Pasal tersebut di atas adalah upaya perlindungan hukum  secara preventif.

 

Dari uraian tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa implementasi perlindungan hukum bagi perawat dan pasien adalah sebagai berikut:

 

Tabel 11.1

Perlindungan Hukum bagi Perawat

 

Upaya Preventif

Upaya Represif

1. Memenuhi kewajiban perawat (misalnya: bekerja sesuai dengan SPO, standar etik, standar profesi dan standar pelayanan).

2. Melengkapi administrasi dalam praktik keperawatan mandiri (misalnya: STR, SIKP, dan sertifikat keahlian/kompetensi,

3. Memenuhi hak pasien,

4. Melakukan kolaborasi seprofesional mungkin dengan tenaga kesehatan lainya

5. Mengjindari pelanggaran etik.

1.   Melakukan mediasi dengan pasien (yang dalam hal ini bisa diwakili oleh mediator dan Rumah Sakit).

2.   Memberikan ganti rugi atau jaminan kepada pasien apabila pasien merasa dirugikan setelah diberikan pelayanan.

 

Tabel 11.1

Perlindungan Hukum bagi Pasien

 

Upaya Preventif

Upaya Represif

1. Meminta Perawat memenuhi haknya saat hendak melakukan transaksi terapeutik,

2. Meminta jaminan keamanan dan keselamatan sebelum dilakukan penatalaksanaan keperawatan.

1. Mengadukan pelayanan kesehatan kepada Pemerintah dan/atau Aparat Penegak Hukum,

2. Menuntut ganti rugi terhadap perawat.

 Perlindungan hukum perawat dan pasien dalam pelayanan keperawatan, antara keduanya telah dilindungi oleh pemerintah dan rumah sakit melalui regulasi yang ada meskipun secara langsung tidak ditegaskan dalam peraturan bagaimana cara melindunginya. Akan tetapi perlindungan tersebut dapat dilihat melalui hak dan kewajiban baik pasien maupun perawat. Karena keduanya harus saling melengkapi untuk menciptakan perlindungan hukum melalui upaya preventif dan represif.


[1] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit.  hlm. 9.
[2] Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 53.
[3] Philipus M. Hadjon, 1985, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, hlm. 20.
[4] Ibid. hlm. 3-5.
[5] Hasil wawancara dengan Sukendar, Tanggal 30 Desember 2018 di Gedung Walikota Kediri..
[6] Hasil wawancara dengan Rudi Yulianto, Tanggal 2 Januari 2019 di RS TNI AD Surabaya.

 

 BAB XII

PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS DALAM PENYELENGGARAAN ASUHAN KEPERAWATAN

 

Penyelesaian sengketa adalah prosedur atau cara  yang dilakukan untuk mengakhiri suatu perselisihan oleh masing-masing pihak guna mencapai kesepakatan perdamaian. Sedangkan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda  pendapat melalui prosedur yang disepakati  para pihak, yakni penyelesaian di luar  pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Hubungan sosial (manatol) yang dilakukan manusia dengan manusia lainnya tidak lepas dari ikatan kerja sama dan permasalahan yang akan terjadi di dalamnya. Kondisi ini berlaku juga dalam dunia kesehatan khususnya tindakan pelayanan kesehatan (medis) yang diberikan tenaga kesehatan kepada pasien terikat dengan kontrak terapeutik. Begitu banyak dan rumitnya kasus kesehatan yang bermunculan, menuntut solusi yang berkeadilan bagi tenaga kesehatan dan pasien sebagai pihak yang memiliki hubungan kontrak terapeutik.[1]

Proses penanganan tindakan medis tidak dipungkiri bisa menimbulkan sengketa. Sengketa dalam kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan atau dapat juga diartikan sebagai pertikaian atau perselisihan. Penyebab sengketa medis ini bisa timbul dari ketidakpuasan pasien atas tindakan medis yang dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan upaya pengobatan. Ketidakpuasan tersebut bisa semakin memanas dikarenakan adanya dugaan kelalaian dan kesalahan (perbuatan melanggar/malpraktek medis) dalam tindakan medis sehingga pasien mendapat kerugian dari aspek kesehatan.

Beragam permasalahan dibidang kesehatan membuat kedudukan hukum menjadi penting. Hukum dijadikan sebagai alat untuk mengatur  dan menyelesaikan sengketa medis. Sengketa medis meliputi :

·         Sengketa yang terjadi dalam hubungan antara perawat dan pasien;

·         Obyek sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh perawat;

·         Pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa medis ialah pasien baik kerugian berupa cacat/luka bahkan menuju pada kematian;

·         Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya dugaan kesalahan dan kelalaian dari perawat.

 

A.  Jenis Dan Bentuk Penyelesaian Sengketa

  1. Peradilan

suatu proses penyelesaian sengketa  melalui kekuasaan kehakiman yang dijalankan di pengadilan.

  1. Arbitrase

Berdasarkan UU No. 30 tahun 1999, yang disebut arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.

  1. Negosiasi

Negosiasi merupakan proses tawar-menawar dengan berunding secara damai untuk mencapai kesepakatan antarpihak yang berperkara, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.[2]

Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu:

·     untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga, dalam hal ini tidak terjadi sengketa; dan

·     untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak.[3]

Dengan demikian, dalam negosiasi, penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

  1. Konsoliasi

Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan, maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa. Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat bergantung pada itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.[4]

  1. Konsultasi

Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.[5]

Marwan dan Jimmy P, menjelaskan arti konsultasi, sebagai berikut: “Permohonan nasihat atau pendapat untuk menyelesaikan suatu sengketa secara kekeluargaan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga”.[6]Dengan demikian dapat disimpulan bahwa konsultasi adalah permintaan pendapat kepada pihak ketiga (konsultan) terkait sengketa yang dihadapi.

  1. Mediasi

Pengertian mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator) yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa.[7]

Sengketa mediasi diatur dalam Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBG, dan PERMA No.1 Tahun 2016 tentang Mediasi, dimana dalam Pasal 1 ayat (7) mendefinisikan bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Hadirnya mediasi dalam menyelesaikan sengketa medis sangat beralasan dikarenakan tidak semua permasalahan sengketa medis harus di selesaikan secara litigasi di pengadilan.

Di dalam UU No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan tidak ada pasal yang mengatur atau mencantumkan di dalamnya tentang penyelesaian sengketa. Oleh karena itu penulis mengambil dasar hukum dari UU No. 36 tahun 2009 dan UU No. 36 tahun 2014.

Sesuai dengan Pasal 29 UU No. 36 tahun 2009  tentang Kesehatan “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus di selesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.  Selain itu juga pada Pasal 78 UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan “dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan atau ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakekatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yakni:

·       Melaksanakan praktik keperawatan yang tidak kompeten,

·       Tugas dan tanggung jawab professional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik,

·       Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi keperawatan.

Mediasi dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam menyelesaikan sengeketa medis dikarenakan beberapa alasan berikut :

1.  Bahwa upaya penyembuhan yang dilakukan oleh perawat merupakan upaya penyembuhan yang didasarkan pada usaha yang maksimal dan ikhtiar (inspanningverbintenis);

2.  Ruang lingkup kesehatan untuk membuktikan dugaan perbuatan melanggar (malpraktek keperawatan) bukanlah hal yang mudah namun harus dipelajari dan di analisis terlebih dahulu setiap perbuatan buruk (adverse event); dan

3.  Tidak semua adverse event identik dengan malpraktek medis.

Kaitan mediasi  dengan upaya keselamatan terhadap pasien yakni sebagai berikut :

1.  Bahwa keselematan pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari dan mencegah adverse event yang disebabkan pelayanan kesehatan serta meningkatkan mutu. Keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan, atau departemen saja, tetapi juga interaksi dari komponen dan sistem.

2.  Adverse event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktek kedokteran yang unsurnya terdiri dari;

·     duty,

·     dereliction of duty,

·     demage,

·     direct causation between demage anda direliction of duty.[8]

 

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sengketa medis yang dikategorikan masuk dalam ruang lingkup hukum khusus, haruslah ditangani secara khusus. Hal demikian menjadikan mediasi sebagai langkan awal untuk menyelesaikan sengketa medis baik pada badan aribitrase, Majelis Kehormatan Etik Keperawatan serta PPNI sebagai wadah tunggal profesi keperawatan yang memiliki kewenangan menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa medis dalam dunia pelayanan kesehatan.

 

B.  Peran Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa

Peran Mediasi dalam penyelesaian sengketa sangat penting karena :

      Untuk mengatasi masalah penumpukan perkara. Kalau para pihak menyelesaikan sendiri sengketanya tanpa diadili oleh hakim, maka tugas hakim untuk memeriksa perkara menjadi berkurang. Apabila selesai dengan damai, akan mengurangi perkara banding, kasasi dan PK.

      Penyelesain sengketa lebih cepat dan lebih murah. Kalau diselesaikan dengan proses litigasi, maka kemungkinan pihak yang kalah mengajukan upaya hukum banding , kasasi atau PK dan dengan sendirinya proseskan lebih panjang dan memakan waktu yang lama, disamping biayanya akan lebih besar.

      Memperluas akses para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak selalu diperoleh melalui proses litigasi, tetapi dapat juga diperoleh melalui proses musyawarah mufakat.

      Institusionalisasi proses mediasi kedalam sistim peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesain sengketa. Kalau dahulu fungsi peradilan yang menonjol adalah memutus, maka setelah berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2008, fungsi memutus berjalan seiring dengan fungsi mendamaikan.

      Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan kompromi diantara para pihak.

      Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya, seperti memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan, bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain.

 

C.  Prinsip Perawat Apabila Menjadi Seorang Mediator

Tujuh prinsip yang harus dipedomani oleh mediator dalam penyelesaian sengketa kelalaian tenaga kesehatan khususnya dokter, perawat dan bidan melalui mediasi agar tujuan win-win solution bisa dicapai. Ketujuh prinsip tersebut kami kenalkan dengan istilah PRINSIP IKNEMOOK[9] yang terdiri dari; prinsip itikad baik para pihak, prinsip kepercayaan, prinsip netralitas, prinsip eksklusif mediator (med-power), prinsip open mind[10], prinsip otonomi prinsipal dan prinsip kerahasiaan.

Prinsip pertama, itikad baik. Masing-masing pihak yang sengketa harus didasari adanya kesamaan dari dalam hati dan pikirannya untuk menempuh penyelesaian sengketa melalui mediasi sebagai pilihan yang dikehendaki secara sadar atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar atau advokat. Prinsip itikad baik ini dibangun atas dasar bahwa para pihak sesungguhnya saling membutuhkan, dokter tidak ada niat mencelakakan pasiennya dan memiliki kesamaan pandangan bahwa motivasi penyelesaian sengketa semata-mata adalah ingin mencapai perdamaian.

Prinsip kedua, kepercayaan atau trust. Prinsip ini dimaksudkan adalah membangun komitmen antara pasien, perawat dan mediator harus saling percaya, prinsip ini tidak bisa berdiri sendiri, prinsip dibangun oleh mediator dengan bersamaan dengan prinsip lainnya yaitu menunjukkan sikap netralitasnya seorang mediator dalam memimpin proses mediasi.

Prinsip ketiga, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, penerapan prinsip ini penting dinyatakan secara tegas ketika pertama kali mediator menyampaikan tata tertib mediasi atau pada saat perkenalan, yang perlu disadari oleh mediator bahwa peran seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang memimpin dan mengontrol proses berjalan tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak, tetapi mediator juga berperan mengendalikan proses mediasi jika situasi prinsipal memanas dan terjadi suasana yang tidak kondusif maka mediator dapat menghentikan atau menunda/ menskor proses mediasi dan menjadwalkan ulang pada waktu yang ditentukan bersama.

Prinsip keempat, eksklusif mediator sebut juga sebagai jantungnya penyelesaian mediasi (med-power), prinsip ini merupakan prinsip yang membedakan secara khusus dibandingkan dengan proses mediasi pada perkara-perkara perdata pada umunya, prinsip ini memberikan penegasan bahwa mediator yang menyelesaian perkara malpraktik medik harus memiliki pengetahuan dalam bidang ilmu kesehatan dan juga memiliki wawasan/ pengetahuan dalam bidang ilmu hukum pada umunya lebih khusus pada hukum kesehatan. Pada prinsip inilah kemampuan seorang mediator dalam mengendalikan proses mediasi dituntut untuk dapat memengaruhi (meluruskan paham yang keliru) para pihak, bahwa dia mengetahui duduk perkara yang sedang disengketakan, jika prinsip ini tidak terpenuhi, maka proses mediasi pada sengketa malpraktik medik akan sulit diselesaikan oleh mediator biasa, jika tidak ada maka proses mediasi dapat dilakukan oleh mediator (Sarjana Hukum) pada umumnya tetapi harus dia dampingi oleh Co Mediator dari tenaga kesehatan baik seorang dokter atau perawat, alasannya dalam proses mediasi peran mediator sebagai pemimpin dan yang dipimpin dalam proses mediasi adalah seorang perawat yang terkadang sering menganggap dirinyalah yang paling tahu tentang penyakit dan perjalanan penyakit pasiennya dan bisa saja untuk kepentingan membela diri seorang perawat tersebut menyatakan bahwa pelayanannya sudah sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) sedangkan fakta hukumnya belum tentu demikian, sehingga seorang mediator dituntut untuk memiliki kemampuan menguji dan menyamakan pemahaman dengan profesi ini sekaligus menjelaskan kepada dokter tersebut juga kepada pasien duduk perkara hukumnya.

Prinsip kelima, membuka pikiran (open mind), Bahwasanya seorang pasien yang melakukan gugatan kepada perawat seringkali pasien tidak mengetahui proses, sifat dan objek hubungan hukum  antara pasien dengan perawat, begitu juga sebaliknya, mereka tidak memahami manfaat mediasi. Penerapan prinsip ini menuntut mediator untuk membuka wawasan principal tentang aspek hukum malpraktik medik dan menjelaskan manfaat-manfaat mediasi serta perlu juga menjelaskan gambaran panjangnya waktu dan besarnya biaya kalau sengketa ditempuh dengan jalur litigasi, dan mediator dituntut dan diharapkan dapat melakukan pendekatan religi humanistic[11] dengan menyebutkan dalil ajaran agama yang mengharuskan perdamaian, misalnya khusus bagi yang beragama Islam menyebutkan satu surah dalam Al Quran yang paling sering penulis pakai dalam proses mediasi yakni QS. Al Hujurat (49) : 10.

Prinsip keenam, otonomi principal. Prinsip ini didasari oleh keyakinan bahwa pasien dan perawat memiliki hak asasi yang melekat pada dirinya yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, termasuk juga penasihat hukumnya, mediator memberikan kebebasan mutlak dan terarah kepada pengerucutan permasalahan yang dialaminya, mengecilkan perbedaan-perbedaan diantara para pihak dan yang paling penting mediator membimbing para pihak untuk mengikuti bisikan nuraninya sendiri dan mediator membangun kesadaran hakikat penciptaan jati diri sebagai manusia yang saling membutuhkan dan mencintai kedamaian.

Prinsip ketujuh mediasi malpraktik medik adalah kerahasiaan atau confidentiality. Prinsip ini memberikan jaminan kepada parapihak yang bersengketa bahwa yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga mediator menjamin rahasia parapihak akan dijaga dan jika perlu dimusnahkan.

Penerapan temuan prinsip penyelesaian sengketa kelalaian tenaga kesehatan melalui mediasi ini tidak bisa terlepas dari prinsip dasar dari asuhan keperawatan tersebut dalam memberikan pelayanan, seorang perawat yang bersungguh-sungguh menolong pasien tanpa memperhitungkan imbalan jasa lebih dahulu (itikad baik), upaya yang dilakukan sudah maksimal, pelayanan yang diberikan sesuai dengan kompetensinya serta sesuai standar prosedur operasional dan kehati-hatian namun ternyata hasilnya tidak sesuai dengan keinginannya, tentu hal ini tidak patut dijadikan landasan gugatan oleh seorang pasien, karena prinsip hubungan hukum perawat dengan pasien adalah tidak memperjanjikan hasil, namum demikian jika terdapat adanya unsur kelalaian tanpa adanya means rea(sikap batin pelaku pembuat pidana), penyelesaian mediasi adalah merupakan solusi terbaik bagi pasien maupun perawat itu sendiri.[12] Baca juga : Prosedur penyelesaian kasus sengketa medis



[1] Wasisto B.Suganda, “Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indnesia”, Disajikan dalam Proceeding Pertemuan Nasional IV (Jakarta, 30 November- 2 Desember 2004 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
 
[2] Odebhora, 2011, “Penyelesaian Sengketa”, Diakses pada: https://odebhora.wordpress.com/2011/05/17/penyelesaian-sengketa/ (Tanggal 30 Januari 2019).
[3] Muryati, Dewi Tuti, and B. Rini Heryanti. “Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di Bidang  Perdagangan.” Jurnal Dinamika Sosbud Vol. 3 No. 1, 2011.
[4] Ros Angesti Anas Kapindha, Salvatia Dwi M, dan Winda Rizky Febrina, “Efektivitas dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Indonesia”, Privat Law Vol. 12 No. 4, 2014.
[5] Frans Hendra Winarta, 2011, “Hukum Penyelesaian Sengketa-Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional”, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 7.
[6] Munir Fuady, 2003,  Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 12
[7] Siti Yuniarti, 2017, Ragam dan bentuk Penyelesaian sengketa”, Diakses pada: http://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-penyelesaian-sengketa/ (Tanggal 30 Januari 2019)
[8] Hasrul Buamoha, 2013, Mediasi (Non Litigasi) Sebagai Langkah Awal Penyelesaian Sengketa Medis, Diakses pada: https://www.lbhyogyakarta.org/2013/07/mediasi-non-litigasi-langkah-awal-penyelesaian-sengketa-medis/ (Tanggal 29 Januari 2019).
[9]  IKNEMOOK merupakan singkatan yang penulis buat untuk memudahkan dalam menghapal, kepanjangannya dalah prinsip Itikad baik para pihak, Kepercayaan, Netralitas, Eksklusif Mediator
[10] med-power,  Open mind, Otonomi prinsipal dan Kerahasiaan. Teori ini dikemukakan oleh machli riyadi dalam sidang terbuka disertasi pada FH Unair 2016.
[11] pendekatan relegi humanistic, maksudnya adalah suatu pendekatan berdasarkan pengalaman penulis dengan mencari dan menyampaikan dalil-dalin agama yang dianut oleh principal dan disampaikan dengan pendekatan sesuai dengan adat/kebiasaan masing-masing pihak.
[12] Machli Riyadi, 2017, Penyelesaian Sengketa Tenaga Kesehatan Melalui Mediasi,  (Disajikan dalam acara Seminar dan Workshop Kesehatan Nasional, Semarang Minggu 5 November 2017 di Gedung Satya Graha KORPRI).

BAB XIII

ADMINISTRASI KEPERAWATAN

 

Administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan. Sedangkan Administrasi dalam arti luas adalah seluruh proses kerja sama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan dengan memanfaatkan sarana dan prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil guna.

Administrasi Keperawatan adalah persyaratan yang harus dimiliki dalam menyelenggarakan Asuhan Keperawatan di Fasilitas pelayanan Kesehatan demi mencapai suatu tujuan.

Dalam UU No.38 tahun 2014 yang dimaksud:

·         Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi Perawat yang telah lulus Uji Kompetensi untuk melakukan Praktik Keperawatan. 

·         Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik Keperawatan yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.

·         Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Perawat yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta telah diakui secara hukum untuk menjalankan Praktik Keperawatan.

·         Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat

·         STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan kepada Perawat yang telah diregistrasi.

·         Surat Izin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Perawat sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan Praktik Keperawatan.

 

Peraturan yang berkenaan dengan administrasi keperawatan:

·     Pasal 18 

(1)   Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki STR.

(2)   STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Konsil Keperawatan setelah memenuhi persyaratan.

(3)   Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a.     memiliki ijazah pendidikan tinggi Keperawatan;

b.     memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;

c.     memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;

d.     memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan

e.     membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

·     Pasal 19

(1)   Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin.

(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPP.

(3)   SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Perawat menjalankan praktiknya.

(4)   Untuk mendapatkan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Perawat harus melampirkan:

a.     salinan STR yang masih berlaku;

b.     rekomendasi dari Organisasi Profesi Perawat; dan

c.     surat pernyataan memiliki tempat praktik atau surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

(5)   SIPP masih berlaku apabila:

a.     STR masih berlaku; dan

b.     Perawat berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam SIPP. 

·     Pasal 21 

Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik Keperawatan.



 

                                                          BAB XIV

HUKUM KESEHATAN DAN RUMAH SAKIT

(SUATU ACUAN BAGI PELAKSANA PELAYANAN KEPERAWATAN)

 

A.  Hukum Kesehatan

H.J.J.Leenen, hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana.  Arti peraturan disini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga merupakan sumber hukum.[1]

Van der Mijn, hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengaturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi.  Hukum medis yang mempelajari hubungan yuridis dimana dokter menjadi salah satu pihak, adalah bagian dari hukum kesehatan.[2]

Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan. Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan lapisan masyarakat) maupun dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasinya, sarana, standar pelayanan kesehatan dan lain-lain. Pemerintah saat ini menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil dan makmur. Peraturan dan ketentuan hukum tidak saja  di bidang kedokteran, tetapi mencakup seluruh bidang kesehatan seperti, farmasi, obat-obatan, rumah sakit, kesehatan jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan dan lain-lain. Kumpulan peraturanperaturan dan ketentuan hukum inilah yang dimaksud dengan hukum kesehatan.[3] 

 

Jika dilihat hukum kesehatan, maka ia meliputi: 

1.  Hukum medis (Medical law)

2.  Hukum keperawatan (Nurse law)

3.  Hukum rumah sakit (Hospital law)

4.  Hukum pencemaran lingkungan (Environmental law)

5.  Hukum limbah .(dari industri, rumah tangga, dsb) 

6.  Hukum polusi (bising, asap, debu, bau, gas yang mengandung racun)

7.  Hukum peralatan yang memakai X-ray (Cobalt, nuclear)

8.  Hukum keselamatan kerja

9.  Hukum dan peraturan peraturan lainnya yang ada kaitan langsung yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.[4]

 

Dasar hukum kesehatan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Undang-Undang ini merupakan landasan setiap penyelenggara usaha kesehatan. Oleh karena itu, ada baiknya setiap orang yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan mengetahui dan memahami apa saja yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk meningkatkan kesehatan seluruh anggota masyarakat. Sehingga penyelenggaraan kesehatan harus mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan.  Undang- undang kesehatan juga memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1.  Alat untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang meliputi upaya kesehatan dan sumber daya.

2.  Menjangkau perkembangan yang makin kompleks yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

3.  Memberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan.[5]

 

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan diciptakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan demi terselenggaranya pembangunan kesehatan yang berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Sebagaimana pasal 47 UU No. 36/2009 bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan:

1.    pelayanan kesehatan;

2.    pelayanan kesehatan tradisional;

3.    peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;

4.    penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;

5.    kesehatan reproduksi;

6.    keluarga berencana;

7.    kesehatan sekolah;

8.    kesehatan olahraga;

9.    pelayanan kesehatan pada bencana;

10. pelayanan darah;

11. kesehatan gigi dan mulut;

12. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;

13. kesehatan matra;

14. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;

15. pengamanan makanan dan minuman;

16. pengamanan zat adiktif; dan/atau

17. bedah mayat.

Dalam hukum kesehatan juga banyak disinggung tentang asas hukum. Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Dalam ilmu kesehatan, dikenal beberapa asas yaitu :

1.  Sa science et sa conscience artinya bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya. Biasanya digunakan pada peraturan hak-hak tenaga medis, tenaga medis berhak menolak dilakukannya tindakan medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.

2.  Agroti Salus Lex Suprema yaitu keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.

3.  Deminimis noncurat lex yaitu hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selama kelalaian itu tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan menuntut.

4.  Res ispa liquitur yaitu faktanya telah berbicara. Digunakan di dalam kasus-kasus malpraktik dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut karena faktanya terlihat jelas.[6]  

 

Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum maupun kedokteran. Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru. Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :

1.  Sumber hukum materiil  adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya, hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dan sebagainya.

2.  Sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.

Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :

a.  Undang-undang (UU);

b.  Kebiasaan;

c.   Yurisprudensi;

d.  Traktat (Perjanjian antar negara);

e.   Perjanjian;

f.   Doktrin (pendapat para sarjana hukum terkemuka).

 

B.  Hukum Rumah Sakit

Pasal 1 angka 1 UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Senada dengan UU No.44/2009 diatas, Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 4 tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, menyebutkan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Pengertian Rumah Sakit menurut para ahli: [7]

1.  Menurut Muninjaya: Rumah sakit merupakan bagian dari sistem pelayanan publik kesehatan yang harus memenuhi kriteria availability, appropriateness, continuity sustainability, acceptability, affordable, dan quality.”

2.  Menurut Siregar: Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern,yang semuanya terkait bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemliharaan kesehatan yang baik.

Sedangkan pengertian Rumah Sakit menurut Asosiasi Rumah Sakit: [8]

1.  Menurut Assosiation of Care, Rumah Sakit adalah pusat di mana pelayanan kesehatan masyarakat, Pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.

2.  Menurut American Hospital Assosiation, Rumah Sakit adalah suatu alat organisasi yang terdiri dari tenaga medis professional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderata oleh pasien.

 

Endang Wahyati Y, dalam bukunya menjelaskan bahwa hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan, yang terkait pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hubungan hukum yang terjalin antara rumah sakit sebagai privider dan masyarakat sebagai receiver, dengan segala implikasi hukumnya, yang meliputi penerapan hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi negara.[9]

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum rumah sakit adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur aktivitas rumah sakit, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan, dan  untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum bagi tenaga kesehatan dan pasien.

Hubungan hukum antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit,adalah merupakan hubungan hukum keperdataan yang didasarkan pada hukum keperdataan dalam menjalankan tugas pekerjaanya.[10] Ketentuan hubungan hukum tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1601 KUHPerdata, yaitu:

“selainya persetujuan-persetujuan untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan dan atau tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainyadengan menerima upah, persetujuan perburuhan dan pemborongan pekerjaan”.

Dari ketentuan pasal tersebut di atas menggambarkan adanya hubungan antara pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan yang diikat dalam suatu pekerjaan dengan mendapatkan kompensasi upah.

UU No. 44/2009 dapat dijadikan acuan bagi tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan, karena rumah sakit diperintahkan untuk memberikan perlindungan hukum atas kelalaian yang telah diakibatkan oleh tenaga kesehatan. Walaupun demikian bukan berarti tenaga kesehatan bisa seenaknya  berbuat di luar batas kewenanganya, namun tenaga kesehatan tetap dituntut untuk mejalankan pelayanan secara professional yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 57 huruf a UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, menyatakan bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan  Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional. Artinya bahwa, apabila tenaga kesehatan tidak melaksanakan tindakan sesuai yang diperintahkan undang-udang ini, maka dia tidak berhak memperoleh perlindungan hukum.

Dengan adanya pengelolaan rumah sakit yang efektif dan efisien dapat memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal bagi pasien dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan di dalamnya. Pengelolaan rumah sakit yang efektif dan efisien dapat dilihat dari 3 aspek meliputi Good Corporate Governance (GCG), Good Clinical Standard (GCS), dan Good Ethical Practice (GEP).[11]

Rumah sakit bertanggungjawab atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit yang menyebabkan kerugian pada pasien, dengan dasar:

1.  Secara yuridis normatif hal ini merupakan penerapan ketentuan Pasal 1367 KHUPerdata, dan Pasal 46 UU No.29/2004 tentang Rumah Sakit, dan Standar Profesi dan akreditasi pelayanan kesehatan secara internasional.

2.  Secara yuridis doktrinal, rumah sakit bertanggungjawab atas kelalaian tenaga tenaga kesehatan dengan adanya doktrin respondeat superior, dan rumah sakit bertanggungjawab atas kualitas perawatan (duty to care).

3.  Secara yuridis teoritis, rumah sakit sebagai korporasi, maka berlaku asas vicarious liability, hospital liability, corporate liability, sehingga rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-orditae (employee).[12]

 

Adanya ketentuaan Pasal 46 UU Rumah Sakit ini, secara psikologis dapat mempengaruhi tenaga kesehatan di dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dapat bertindak kurang hati-hati bahkan dapat seenaknya. Tenaga kesehatan yang bertindak demikian, karena beranggapan jika ada kelalaian akan menjadi tanggungjawab rumah sakit. Meskipun demikian, tenaga kesehatan dalam bentuk criminal malpractice, maka akan tetap dapat dipertanggungjawabkan perbuatanya. Diperkuat dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena keslahanya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal tersebut tidak menyebutan bahwa majikan/pimpinan/rumah sakit ikut bertanggugjawab atas kesalahan yang diperbuat oleh orang tersebut.

 



[1] Diakses dari: http://digilib.unila.ac.id/5780/12/BAB%20II.pdf (Tanggal 13 Agustus 2019).

[2] Diakses dari: http://digilib.unila.ac.id/5780/12/BAB%20II.pdf (Tanggal 16 Agustus 2019).

[3] Amir Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Jakarta: Widya Medika, hlm. 29.

[4] J. Guwandi, 2004, Hukum Medical, Jakata: FKUI, hlm.13.

[5] Alexandra Indriyanti,  2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, hlm. 172.

[6] Ibid, hlm. 167.

[7] Silontong, 2018, “Pengertian Rumah Sakit Menurut Para Ahli”, diakses dari: https://www.silontong.com/2018/05/07/pengertian-rumah-sakit-menurut-para-ahli/# (Tanggal 13 Agustus 2019).

[8] Wildan Pahlevi, 2009, “Skripsi: Analisis Pelayanan Pasien di Unit Admisi Rawat”, Jakarta: FKM UI, hlm.6.

[9] Endang Wahyati Yustina, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media, hlm.14.

[10] Edy Krisharyanto, “Beberapa Aspek Hukum Rumah Sakit dalam Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan”, PERSPEKTIF Vol. 4, No. 2, 2001.

[11] Agus Hadian Rahim, “Membangun Tata Kelola Etika dan Hukum Rumah Sakit”, Disajikan dalam Acara Pertemuan Penguatan dan Sosialisasi Serta Peran Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit (Jakarta, 22 Februari 2018 di Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan  Kesehatan Kementerian Kesehatan RI).

[12] Setya Wahyudi, “Tanggungjawab Rumah Sakit terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, 2011.

 

 BAB XV

INFORMED CONSENT DAN REKAM MEDIS

 

A.  Informed Consent

Informed Consent menurut komalawati adalah suatu kesepakatan/ persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.[1]

Informed Consent menurut J. Guwandi, adalah informasi atau keterangan dari seorang dokter yang wajib diberitahukan kepada pasien sebelum melakukan tindakan. Informasi tersebut meliputi:

·     Diagnosa yang ditegakkan,

·     Sifat dan luasnyatindakan yang dilakukan,

·     Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut,

·     Risiko-risiko dari tindakan tersebut,

·     Konsekwensinya apabila tidak dilakukan tindakan,

·     Biaya-biaya yang menyangkut tindakan tersebut.[2]

Pada Pasal 1 Permenkes No. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran mendefiniskan bahwa, persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Informed Consent dalam pelayanan keperawatan adalah suatu tindakan perawat dalam memberikan penjelasan kepada pasien maupun keluarga setelah mendapatkan perintah dari dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan guna mewakilinya dalam mendapatkan persetujuan tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Sebagaimana Pasal 10 ayat (3) Permenkes No. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, disebutkan bahwa tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenanganya. Dan ayat (4) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan tertentu tersebut adalah tenaga kesehatan yang terlibat dalam memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.

Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga tidak menghapus tanggung gugat (secara hukum, baik perdata maupun pidana) terhadap dokter atau tenaga kesehatan lainya yang melakukan kelalaian atau kesalahan yang merugikan pasien.

Seorang pasien dan keluarga berhak memperoleh penjelasan tentang tindakan apa yang hendak dilakukan, karena jika tidak maka berisiko pelanggaran tindak pidana penganiayaan, Pasal 351 KUHP ayat (2) menjelaskan bahwa jika suatu perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana paling lama 5 tahun. Sehingga dalam hal ini, ada baiknya dokter dan tenaga kesehatan selalu melakukan komunikasi kepada pasien dan keluarga.

Secara garis besar bentuk izin (persetujuan) dapat dibedakan, antara lain:[3]

1.  Persetujuan Tertulis

Persetujuan tertulis adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/ keluarga pasien setelah mendapatkan penjelasan atau informasi dari dokter atau tenaga kesehatan lainya mengenai ha-hal yang akan dilakukan (tindakan medis) terhadap pasien dalam bentuk tertulis pada formulir khusus yang telah disediakan.

Persetujuan tertulis diberikan terhadap:

·     Semua tindakan medis yang mengandung risiko tinggi.

·     Tindakan-tindakanyang hasilnya sulit diprediksi (meragukan).

2.  Persetujuan Lisan

Persetujuan lisan adalah persetujuan yang diberikan tidak dalam bentuk tertulis pada formulir khusus yang telah disediakan melainkan dengan Bahasa isyarat yang mudah dimengerti, misalnya;

·     Mengiyakan dengan perkataan,

·     Menganggukkan kepala,

·     Mengedipkan mata,

·     Menggerakkan tangan,

·     Diam saja /contact eyes (dengan catatan pasien sadar dan mengerti pembicaraan).

Bila dokter dan tenaga kesehatan yang akan melakukan tindakan, meragukan persetujuan yang diberikan pasien secara lisan, misalnya tingkat kesadaran naik turun, dan bila diprediksi akan menimbulkan suatu masalah dikemudian hari, maka sebaiknya persetujuan diberikan dalam bentuk tertulis, walaupun tidak masuk kriteria untuk persetujuan tertulis.

3.  Tanpa Persetujuan

Adakalanya pada suatu kondisi, pasien masuk ke rumah sakit dalam kondisi tidak sadar (tanpa pengantar), dan diperlukan tindakan segera untuk mengatasi kegawatan yang terjadi. Apabila didiamkan saja sampai pasien sadar atau sampai keluarga pasien dating, dapat di pasien nyawa pasien akan susah tertolong.

Dalam suatu aturan yang diberlakukan tentu ada aturan-aturan yang mengatur pengecualian (artinya boleh dilanggar dengan persyaratan-persyaratan tertentu). Jadi ada beberapa kondisi di mana pasien tidak bias dimintai untuk membuat persetujuan baik lisan maupun tulisan, yaitu:

·     Dalam kondisi gawatdarurat,

·     Pasien anak-anak yang tidak cakap hukum,

·     Pasien dengan keterbelakangan mental atau gangguan jiwa,

·     Pasien dalam kondisi tidak sadar,

·     Perluasan suatu tindakan bedah medis.

 

 

B.  Rekam Medis

Rekam medis menurut Desriza Ratman merupakan catatan medis dan dokumen medis. Catatan  yaitu tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan. Dokumen yaitu catatan dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu yang berisikan laporan pemeriksaan penunjang, catatan observasi, pengobatan harian dan semua rekaman baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging) dan rekaman elektro-diagnostik.[4]

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 269/ MENKES/ PER/ III/ 2008 tentang Rekam medis, adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

Rekam medis dalam pelayanan keperawatan adalah segala sesuatu bentuk dokumentasi keperawatan atas segala tindakan kedokteran maupun keperawatan yang telah dilimpahkan pada perawat di fasilitas Pelayanan kesehatan dan berisi asuhan keperawatan yang telah dijalankan.

Jenis dan isi rekam medis menurut permenkes 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis, antara lain:

1.    Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat

a.  identitas pasien;

b.  tanggal dan waktu;

c.   hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;

d.  hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

e.   diagnosis;

f.   rencana penatalaksanaan;

g.   pengobatan dan/atau tindakan;

h.  pelayanan lainyang telah diberikan kepada pasien;

i.    untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan

j.    persetujuan tindakan bila diperlukan.

2.    Isi rekam medis untuk pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurang-kurangnya memuat:

a.  identitas pasien;

b.  tanggal dan waktu;

c.   hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;

d.  hasil pemerisaan fisik dan penunjang medik;

e.   diagnosis:

f.   rencana penatalaksanaan;

g.   pengobatan dan/atau tindakan;

h.  persetujuan tindakan bila diperlukan;

i.    catatan observasi klinis dan hasil pengobatan;

j.    ringkasan pulang (discharge summary);

k.  nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehalan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;

l.    pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu; dan

m. untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik.

3.    Isi rekam medis untuk pasien gawat darurat sekurang-kurangnya memuat:

a.  identitas pasien;

b.  kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;

c.   identitas pengantar pasien;

d.  tanggal dan waktu;

e.   hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;

f.   hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

g.   diagnosis;

h.  pengobatan dan/atau tindakan;

i.    ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut;

j.    nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;

k.  sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain; dan

l.    pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

4.    Isi rekam medis pasien dalam keadaan bencana, memuat:

a.  identitas pasien;

b.  kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;

c.   identitas pengantar pasien;

d.  tanggal dan waktu;

e.   hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;

f.   hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

g.   diagnosis;

h.  pengobatan dan/atau tindakan;

i.    ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut;

j.    nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;

k.  jenis bencana dan lokasi di mana pasien ditemukan;

l.    kategori kegawatan dan nomor pasien bencana masal; dan

m. identitas yang menemukan pasien;

 

Tujuan pendokumentasian pada rekam medis dapat membantu dan mempermudah:

·     Komunikasi antara anggota/ tim heath provider

·     Sebagai bahan ajar,

·     Sebagai bahan riset,

·     Sebagai bahan penelitian/observasi,

·     Sebagai bahan audit,

·     Sebagai bahan untuk menghitung tagihan pembayaran,

·     Sebagai black box bila terjadi perselisihan.[5]

Pokok yang terpenting dari suatu rekam medis adalah ia bisa merupakan suatu dokumen yang bersifat legal. Dengan demikian maka rekam medis ini menjadi sesuatu yang esensial pada pembelaan tuntutan malpraktik medis. Suatu rekam medis yang baik memungkinkan rumah sakit untuk mengadakan rekontruksi yang baik mengenai pemberian pelayanan kepada pasien serta memberi gambaran untuk dinilai apakah perawatan dan pengobatan yang diberikan dapat diterima atau tidak dalam situasi dan keadaan demikian. Rekam medis harus diisi segera dan secara langsung oleh pada saat dilkukan tindkan pada pemberian instruksi oleh dokter atau oleh perawat dan pada saat dilakukan observasi telah timbul suatu gejala atau suatu perubahan, dan sewaktu melakukan tindkan. Jika hal ini tdak ditaati, bisa terkena tuntutan kelalaian seperti pada kasus berikut ini:[6]

·     Hansch v. Hackett, 66 P.2nd (Wash 1973)

Sebuah rumah sait dianggap bertanggungjawab terhadap elalaian seorang perawat karena tidak memperhatikan dan mencatat tanda-tanda eklamsi di dalam rekam medis.

Pengadilan berpendapat bahwa gejala-gejala ini seharusnya diamati oleh perawat, walaupun ia tidak tahu persis gejala-gejala itu. Seharusnya perawat tersebut langsug menulisnya di dalam catatan rekam medis. Jika informasinya ada tertulis di dalam rekam medis, maka dokter yang merawatnya akan segera mengetahuinya dan bias langsung menginstruksikan untuk dilakukan tindakan-tindakan yang diperlukan.

·     Collins vs Westlake Community Hospital (Illinois 1974)

Penggugat mengatakan bahwa staf perawat rumah sakit telah lalai dalam mengawasi kondisidan sirkulasi kakinya sewaktu ipasangkan kayu spalk, sehingga kelalaian ini mengakibatkan kakinya harus diamputasi.

Pengadilan Illinois telah memeriksa catatan pada rekam medis dan berkesimpulan bahwa, tidak adanya catatan observasi dari kaki selama tujuh jam yang kritis, menunjukkan suatu bukti telah tidakdilakukan observasi pada saat-saat yang kritis tersebut.

Dari contoh kasus di atas dapat disimpulkan bahwa begitu berartinya rekam medis dalam pelayanan kesehatan, sehingga seluruh tenaga kesehatan yang terlibat langsung dalam merawat pasien wajib mengisi rekam medis. Sekecil apapun tindakan yang telah dilakukan oleh tenaga kesahatan, maka yang bersangkutan haruslah menulis di rekam medis apa yang telah ia lakukan.



[1] Desriza Ratman, 2013, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik, Bandung: Keni Media, hlm.39.

[2] J. Guwandi, 2004, Informed Consent, Jakarta: FKUI, hlm. 15.

[3] Desriza ratman, Op. Cit, hlm.41-46.

[4] Ibid, hlm.70.

[5] Ibid,, hlm.70.

[6] J. Guwandi, 2005, Rahasia Medis, Jakarta: FKUI, hlm. 53-56.

 

 BAB XVI

EUTHANASIA

 

A.  Pengertian Euthanasia

Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu dan thanatos yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan tenang atau senang”. Dalam bahasa inggris sering disebut Marc Killing, sedangkan menurut “Encyclopedia American mencantumkan Euthanasia ISSN the practice of ending life in other to give release from incurable sufferering”. Di Belanda disebutkan bahwa Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan suatu usaha (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.[1]

Menurut Kartono Muhammad, euthanasia dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:

1.  Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan biasa yang sedang berlangsung.

2.  Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kematian.

3.  Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.

4.  Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai merey killing.

5.  Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah.[2]

Istilah euthanasia dalam Kode Etik Kedokteran mengandung 3 arti yaitu :[3]

1.  Pindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitan

2.  Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat penenang, dan

3.  Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

 

Untuk dapat lebih memahami lebih lagi timbulnya masalah euthanasia, perlu dipahami mengenai konsep mati. Konsep mati pada waktu dulu adalah apabila jantung dan paru-paru sudah tidak berfungsi lagi atau tidak bekerja lagi orang tersebut sudah dinyatakan mati dan tidak diperlukan pertolongan lagi.  Kini keadaan sudah berubah, jika seseorang dalam perawatan yang intensif, dan jantungnya sudah berhenti dengan tekhnologi yang ada jantung tersebut dapat dipacu untuk bekerja lagi.[4]

Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan standar matinya seseorang yang dari berhentinya jantung dan paru-paru sudah tidak relevan lagi. Kerusakan yang terjadi pada otakpun, jika fungsi organ masih dapat dipertahankan, belum dapat dikatakan seseorang tersebut telah mati. Oleh karena itu dalam hal ini sangat penting untuk dapat mengetahui apa sebanarnya konsep mati yang dapat diterima oleh masyarakat, sehingga untuk menentukan mati (secara teknis) dokter harus memiliki (secara moral) keyakinan untuk mempertemukan keduanya

(moral-teknis). 

Untuk melihat permasalahan tentang konsep mati, Kartono Mohammad mengemukakan tentang konsep kematian sebagai berikut:[5] 

1.  Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dalam Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Dalam kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula berhenti adakalanya dapat dipulihkan kembali, sehingga dapat dilihat dari perkembangan teknologi, kriteria mati yang ditetapkan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 perlu ditinjau ulang.

2.  Mati sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak yang berasumsi bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darh berhenti mengalir. Tetapi dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang telah dikemukakan diatas, dapatkah nyawa ditarik kembali melalui teknologi resusitasi? Jika beranggapan bahwa sekali nyawa terlepas, tidak mungkin manusia dapat menariknya kembali, maka kriteria berhentinya darah mengalir pada saat nyawa meninggalkan tubuh tidak tepat lagi.

3.  Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen (irreversible lost ability). Dalam pengertian ini, fungsi organ-organ tubuh yang semula bekerja terpadu kini berfungsi sendiri tanpa terkendali, karena fungsi pengendali (otak), sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan lagi. Pandangan ini memang sudah sangat teknis tetapi belum memastikan bahwa otak telah mati tetapi hanya mengatakan bahwa otak telah tidak mampu lagi mengendalikan fungsi organ-organ lain secara terpadu. Pandangan ini diwarnai oleh pengalaman dalam teknologi transplantasi organ. Secara teknis medis untuk kepentingan transplantasi, memang pandangan ini memadai. Tetapi, secara moral masih menjadi pertanyaan, jika organ-organ masih berfungsi, meski tidak terpadu lagi, benarkah orang tersebut sudah mati.

4.  Hilangnya kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial. Konsep ini dikembangkan dari konsep yang ketiga diatas, tetapi dengan penekanan nilai moral yaitu dengan memeperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk sosial.

 

Dari seluruh uraian tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa euthanasia dalam keperawatan adalah suatu usaha menghilangkan nyawa seseorang dengan menghentikan tindakan asuhan keperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan baik dengan permintaan maupun tidak atas permintaan. Suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika keperawatan.

 

B.  Jenis-Jenis Euthanasia

Berdasarkan pengertian Euthanasia, dapat diketahui bahwa Euthanasia dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1.  Euthanasia atas permintaan (Volunter)

sebuah penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan pasien.

2.  Euthanasia tidak atas permintaan (Involunter)

suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien dimana pasien tersebut tidak dalam keadaan sadar, dalam keadaan seperti ini pasien tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya, dalam hal ini dianggap pihak keluarga pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan pembunuhan kriminal.

Kedua macam Euthanasia tersebut dapat pula dibagi menjadi dua

bagian, yaitu :

1.  Euthanasia aktif

Suatu peristiwa dimana seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya, secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien.

Euthanasia aktif, baik atas permintaan maupun tanpa permintaan, dapat dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu :

1.  Euthanasia secara langsung

Suatu usaha untuk meringankan penderitaan pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperhitungkan bahwa hidup pasien diperpendek atau diakhiri. 

2.  Euthanasia secara tidak langsung

Usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping (mengetahui adanya risiko tindakan) bahwa pasien barangkali meninggal dalam waktu lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secara de facto memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja. 

2.  Euthanasia pasif

Suatu keadaan dimana seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medis terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya. Dalam hal ini bukan berarti tindakan perawatan dihentikan sama sekali, melainkan tetap diberikan dengan maksud untuk membantu pasien dalam fase hidupnya yang terakhir.

Euthanasia pasif yang dilakukan atas permintaan dapat dinamakan “Auto Euthanasia”. Pengertian euthanasia pasif adalah suatu keadaan dimana seorang pasien, dengan sadar menolak secara tegas untuk menerima perawatan medis.

 

C.  Contoh Kasus Euthanasia di Indonesia

1.  Dikutip dari DetikNews.com, di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia pernah terjadi di penghujung 2004, suami Ny. Agian yang bernama Panca Satria Hasan Kusuma mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya yang menderita stroke dan tidak kunjung sembuh, namun permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji,  tindakan euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan euthanasia tidak sewenang-wenang.[6]

2.  Dikutip dari DetikNews.com, Afandi, warga Batang pada pertengahan bulan September 2018 menulis surat kepada kejaksaan negeri agar diperbolehkan disuntik mati. Hal itu dilakukan karena putus asa penyakit maag kronis tak kunjung sembuh. Kejaksaan Negeri Batang pun langsung menolak permintaan Afandi yang pernah dikirimkannya dan Kejaksaan akan menindak tegas secara hukum jika benar Afandi telah mengirimkan surat tersebut dan menindak tegas orang yang akan membantu Afandi. Menurut penjelasan Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasidatun) Kejari Batang, Dista Anggara, yang bersangkutan telah melanggar Pasal 344 KUHP dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa " Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”.[7]

 

D.  Aspek Hukum Euthanasia

Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Penolakan perawatan medik ini ada yang mengakibatkan matinya pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan matinya pasien. Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter atau tenaga kesehatan lainya tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan medik untuknya, walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut. Penolakan perawatan medis ini erat kaitannya dengan hak-hak pasien. Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi ataupun sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak pasien ini adalah karena adanya the right of self determination atas badannya sendiri. 

Menurut hukum Islam bahwa pengadilan sekalipun tidak berhak untuk menentukan hak hidup seseorang kecuali untuk hukuman yang telah ditentukan  oleh nash, karena hak hidup seseorang hanya milik Allah Swt semata dan hanya  dia yang berhak untuk mengambinya kembali tanpa terkecuali bahkan pengadialan  sekalipun.[8]

Dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 44/2009 disebutkan bahwa Rumah Sakit secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolakn tau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis komprehensif.

Pasal 14 Permenkes 290/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, menyatakan:

(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien;

(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat pejelasan dari tim dokter yang bersangkutan;

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.

 

Pada Permenkes No. 519 tahun 2011 tentang  Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anesthesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, terdapat pedoman tentang pengelolaan akhir kehidupan, yakni:

1.  Pengelolaan akhir kehidupan meliputi penghentian bantuan hidup (withdrawing life support) dan penundaan bantuan hidup (withholding life support).

2.  Keputusan withdrawing/withholding dilakukan pada pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (ICU dan HCU). Keputusan penghentian atau penundaan bantuan hidup adalah keputusan medis dan etis. 

3.  Keputusan untuk penghentian atau penundaan bantuan hidup dilakukan oleh 3 (tiga) dokter yaitu dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi dan 2 (dua) orang dokter lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit.

4.  Prosedur pemberian atau penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU atau HCU, yaitu:

a.     Bantuan total dilakukan pada pasien sakit atau cedera kritis yang diharapkan tetap dapat hidup tanpa kegagalan otak berat yang menetap. Walaupun sistem organ vital juga terpengaruh, tetapi kerusakannya masih reversibel. Semua usaha yang memungkinkan harus dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.

b.     Semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation), dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ yang lain, atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c.     Tidak dilakukan tindakan-tindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau penundaan bantuan hidup. Pasien yang masih sadar tapi tanpa harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri.

d.     Semua bantuan hidup dihentikan pada pasien dengan kerusakan fungsi batang otak yang ireversibel.  Setelah kriteria Mati Batang Otak (MBO) yang ada terpenuhi, pasien ditentukan meninggal dan disertifikasi MBO serta semua terapi dihentikan. Jika dipertimbangkan donasi organ, bantuan jantung paru pasien diteruskan sampai organ yang diperlukan telah diambil. Keputusan penentuan MBO dilakukan oleh 3 (tiga) dokter yaitu dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi, dokter spesialis saraf dan 1 (satu) dokter lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit.

 

Kemudian dalam Pasal 338 KUHP disebutkan bahwa, barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (“moord”), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. Kemudian Pasal 344  juga menerangkan bahwa, barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun.

Pasal 55 ayat (1) jo Pasal 338 memberikan penjelasan yang dapat disamakan dengan memujuk berbuat untuk merampas nyawa orang lain. Isi dari Pasal 55 ayat (1) berbunyi:

Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1.  Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;

2.  Mereka yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.

 

Dari seluruh peraturan di atas dapat dilihat bahwa ada nilai kerancuan dalam hukum tersebut di atas, di mana KUHP tidak memberlakukan kompromi bagi pelanggarnya. Seorang pasien yang notabene adalah seorang manusia yang harus dihormati nilai-nilai kemanusiaanya sudah kehilangan hak hidupnya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi di atas telah membingungkan semua pihak, di mana tenaga kesehatan dan keluarga tidak aka nada yang berani mencabut alat bantuan hidup bila mengingat Pasal-Pasal KUHP, sementara secara hierarki KUHP posisinya lebih kuat daripada Undang-Undang Rumah Sakit dan Permenkes, sehingga otomatis berlaku asas lex superior derogate legi inferior (aturan hukum yang lebih tinggi menyampingkan aturan hukum yang lebih rendah).

Permasalahan ini harusdicarikan sousinya oleh Lembaga legislatif bersama-sama eksekutif untuk  membuat suatu aturan dalam menangani euthanasia. Minimal aturan yang dibuat setingkat dengan KUHP agar aturan KUHP bias diabaikan dengan asas lex spesialis derogate legi generalis (aturan hukum yang khusus mengalahkan aturan hukum yang umum).


[1] Cecep Tribowo, 2014, Etika & Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, hlm. 200.
[2] Diana Kusumasari, 2011, Pengaturan Euthanasia di Indonesia, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2235/euthanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
[3] Ratna Suprapti Samil,2001,Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, hlm. 22.
[4] Ta’Adi, 2009, Hukum Kesehatan: Pengantar Menuju Keperawatan Profesional, Jakarta: EGC, hlm. 52.
[5] Ibid, hlm. 52-54.
[6] Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-225608/kasus-ny-agian-rs-telah-lakukan-euthanasia-pasif (Tanggal 14 Agustus 2019).
[7] Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4212408/minta-suntik-mati-kejari-indonesia-tak-mengenal-euthanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
[8] Khoiruddin,diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).


DAFTAR PUSTAKA


 
BUKU
A’an, dan Freddy, 2017, Hukum Administrasi, Jakarta: Sinar Grafika.
 
Alexandra Indriyanti,  2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
 
Ali, Achmad, 2015, Menguak Tabirr Hukum, Jakarta: Prenamedia Group.
 
Amir Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Jakarta: Widya Medika.
 
Asyhadie, Zaeni, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
 
Cecep Tribowo, 2014, Etika & Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.
 
Desriza Ratman, 2013, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik, Bandung: Keni Media.
 
DPP PPNI, 2017, Pedoman Praktik Keperawatan Mandiri, Jakarta: DPP PPNI.
 
Endang Wahyati Yustina, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media.
 
Fuady,Munir, 2003,  Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti.
 
J. Guwandi, 2004, Informed Consent, Jakarta: FKUI.
 
-----------------, 2004, Hukum Medical, Jakata: FKUI.
 
-----------------, 2005, Rahasia Medis, Jakata: FKUI.
 
Kusnandi, Mohammad, 2013, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: CV Cahaya Agency.
 
Lilis, dan Ramadhaniayati, 2018, Falsafah Dan Teori Keperawatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 
Mertokusumo,Sudikno, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
 
M. Hadjon, Phillipus,1985, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
 
M. Hadjon, Philipus, Philipus, Sri Soemantri, Sjachran Basah, Bagir Manan, Laica Marzuki, Ten Berge, Van Buuren, dan Stroink, 2015, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
 
Miru, Ali, 2014, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers.
 
Muntoha, 2015, Skripsi: “Hubungan antara Beban Kerja dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Perawatan Khusus RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga”, Purbalingga: Repository UMP.
 
Muhwan Hariri, Wawan, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: CV Pustaka Setia.
 
Ngesti W. Utami, Uly Agustine, dan Ros Endah H.P, 2016, Etika Keperawatan dan Keperawatan Profesional, Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan (Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan) Kementerian Kesehatan RI
 
Praptianingsih, Sri, 2007, Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
 
Rahardjo, Satjpto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
 
Ratna Suprapti Samil, 2001, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
 
Ridwan, 2014, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers.
 
Sahya, Anggara, 2018, Hukum Administrasi Negara, Bandung: CV. Pustaka Setai.
 
Soerjowinoto, Petrus, 2017, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
 
Soerodibroto,Soenarto, 2012, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rajawali Pers.
 
Sinamo, Nomensen, 2016, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Jala Pertama Aksara.
 
Soetrisno, 2010, Malpraktik Medik dan Mediasi Senagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,Tanggerang: telaga Ilmu.
 
Sungguh, As’ad, Kode Etk Profesi tentang Kesehatan. 2014, Jakarta: Sinar Grafika.
 
Ta’Adi, 2009, Hukum Kesehatan: Pengantar Menuju Keperawatan Profesional, Jakarta: EGC.
 
-----------------, 2018 “Hukum Kesehatan: Sanksi & Motivasi Bagi Perawat, Jakarta: EGC.
 
Vaunghans, Bennita W, 2013, Keperawatan Dasar (Edisi Terjemahan), Yogyakarta: Rapha Publishing.
 
Wildan Pahlevi, 2009, “Skripsi: Analisis Pelayanan Pasien di Unit Admisi Rawat”, Jakarta: FKM UI.
 
Winarta, Frans Hendra, 2011, “Hukum Penyelesaian Sengketa-Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional”, Jakarta: Sinar Grafika.
 
Yustina, Endang Wahyati, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media.
 
JURNAL
Edy Krisharyanto, “Beberapa Aspek Hukum Rumah Sakit dalam Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan”, PERSPEKTIF Vol. 4, No. 2, 2001.
 
M. Fakih, “Kedudukan Hukum Keperawatan Dependen dalam Transaksi Terapeutik” Yustisia Vol. 2 No. 2, 2013.
 
Muryati, Dewi Tuti, and B. Rini Heryanti, “Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di Bidang  Perdagangan.” Jurnal Dinamika Sosbud Vol. 3 No. 1, 2011.
 
Ros Angesti Anas Kapindha, Salvatia Dwi M, dan Winda Rizky Febrina, “Efektivitas dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia”, Privat Law Vol. 12 No. 4, 2014.
Setya Wahyudi, “Tanggungjawab Rumah Sakit terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, 2011
SEMINAR
Agus Hadian Rahim, “Membangun Tata Kelola Etika dan Hukum Rumah Sakit”, Disajikan dalam Acara Pertemuan Penguatan dan Sosialisasi Serta Peran Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit (Jakarta, 22 Februari 2018 di Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan  Kesehatan Kementerian Kesehatan RI).
 
Wasisto B.Suganda, “Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia”, Disajikan dalam Proceeding Pertemuan Nasional IV (Jakarta, 30 November- 2 Desember 2004 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
 
Machli Riyadi, 2017, Penyelesaian Sengketa Tenaga Kesehatan Melalui Mediasi,  (Disajikan dalam acara Seminar dan Workshop Kesehatan Nasional, Semarang Minggu 5 November 2017 di Gedung Satya Graha KORPRI).
 
Sukendar, “Aplikasi Perawatan Luka Terkini dalam Praktik Keperawatan Mandiri Berbasis Evidence Based dan Simulasi Pembuatan Kontrak Antara Perawat dengan Dokter”, disajikan dalam Seminar Keperawatan Griya Luka Grobogan (Semarang, 6 Desember 2018 di Gedung Juang 45 Semarang).
 
PERATURAN
RI, Undang-Undang Dasar 1945.
 
RI, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
 
RI, Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
 
RI, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
 
RI, Undang–Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
 
RI, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
 
RI, Undang-Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Tenaga Keperawatan.
 
RI, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis.
 
RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
 
RI, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 908/MENKES/SK/VII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keperawatan Keluarga.
 
RI, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 519 tahun 2011 tentang  Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anesthesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit.
 
RI, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
 
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
 
SK DPP PPNI Nomor 011/DPP.PPNI/SK/K.S/III/2017 tentang Pedoman Praktik Keperawatan Mandiri.
INTERNET
Achir Yani Syuhaimie Hamid, 2014, Perjuangan Panjang untuk Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/ayanihamid/ 54f958f8a33311fc078b4c94/perjuangan-panjang-untuk-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).Puji Hastuti, 2014, Mengenal Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/pujih/54f92a6da33311ed068b4882/mengenal-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).
 
Agus Roni Arbaben, 2017, Pengertian Kewenangan, Sumber-Sumber Kewenangan Dan Kewenangan Membentuk Undang-Undang, diakses pada: https://agusroniarbaben.wordpress.com/2017/06/03/pengertian-kewenangan-sumber-sumber-kewenangan-dan-kewenangan-membentuk-undang-undang/ (Tanggal 3 Oktober 2018).
 
Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-225608/kasus-ny-agian-rs-telah-lakukan-euthanasia-pasif (Tanggal 14 Agustus 2019).
 
Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4212408/minta-suntik-mati-kejari-indonesia-tak-mengenal-euthanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
 
Diana Kusumasari, 2011, Pengaturan Euthanasia di Indonesia, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2235/euthanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
 
Hasrul Buamoha, 2013, Mediasi (Non Litigasi) Sebagai Langkah Awal Penyelesaian Sengketa Medis, Diakses pada: https://www.lbhyogyakarta.org/2013/07/mediasi-non-litigasi-langkah-awal-penyelesaian-sengketa-medis/ (Tanggal 29 Januari 2019).Diakses dari: http://www.lepank.com/2012/08/pengertian-perawat-menurut-beberapa-ahli.html https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal 22 Januari 2019).
 
http://dosen.stikesdhb.ac.id/fitra-herdian/wp-content/uploads/sites/19/2016/02/jtptunimus -gdl-masniarg2a-6121-3-babii.pdf (Tanggal 22 September 2018).
 
http://digilib.unila.ac.id/5780/12/BAB%20II.pdf (Tanggal 13 Agustus 2019).
 
Khoiruddin,diakses dari: http://id.wikipedia.org/ wiki/Eutanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
 
Odebhora, 2011, “Penyelesaian Sengketa”, Diakses pada: https://odebhora.wordpress.com/2011/05/17/penyelesaian-sengketa/ (Tanggal 30 Januari 2019).
 
Siti Yuniarti, 2017, Ragam dan bentuk Penyelesaian sengketa”, Diakses pada: http://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-penyelesaian-sengketa/ (Tanggal 30 Januari 2019
 
Silontong, 2018, “Pengertian Rumah Sakit Menurut Para Ahli”, diakses dari: https://www.silontong.com/2018/05/07/pengertian-rumah-sakit-menurut-para-ahli/# (Tanggal 13 Agustus 2019).
 
Wikipedia Bahasa Indonesia versi online, diakses dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal 2 Januari 2019).

 Etika profesi keperawatan dan hukum kesehatan -  https://www.makmurjayayahya.com/2021/06/etika-profesi-keperawatan-hukum.html



  

              
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 



































 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



















2 komentar untuk "Etika Profesi Keperawatan dan Hukum Kesehatan"

  1. Nenek baca sebagiannya dulu ya, cung. Soalnya, kepanjangan. He he .....

    BalasHapus
  2. Baik, pelan2 aja bacanya nek krn ini e-book panjang materinya.. hehe. Terima kasih udah berkunjung dan sehat selalu nek

    BalasHapus
Menyalinkode AMP