CACAT KEHENDAK (WILSGEBREKEN) SEBAGAI SALAH SATU ALASAN PEMBATALAN KONTRAK DALAM PERSEPEKTIF HUKUM PERDATA
www.makmurjayayahya.com |
Dalam bidang hukum perdata,
hukum perikatan merupakan salah satu hal yang sangat penting dan dibutuhkan
dalam hubungan-hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang dilakukan
sehari-hari.
Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW (Buku III KUH Perdata) yang secara garis besar dibagi atas 2 bagian, yaitu :
- Perikatan pada umumnya, baik yang lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari Undang-Undang.
- Perikatan yang lahir dari perjanjian – perjanjian tertentu.
Ketentuan tentang perikatan pada umumnya ini berlaku juga terhadap perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Bahkan ketentuan tentang perikatan pada umumnya, ini berlaku pula sebagai ketentuan dasar atau semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang jenis perjanjiannya tidak diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) sehingga perjanjian apapun yang dibuat acuannya adalah pada ketentuan umum tentang perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 sampai pasal 1456 BW. (Burgerlinjk Wetboek)
Dalam KUHPerdata, serta
doktrin dan yurisprudensi umum di Indonesia, terdapat tiga hal yang menyebabkan
cacat kehendak (wilsgrebeken), yakni:
1. Kesesatan (dwaling)
Kekeliruan
yang dimaksud adalah terdapat kesesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun
kehendak salah satu atau kedua pihak tersebut secara cacat. Diluar hal
tersebut, maka akibat dari kekeliruan harus ditanggung oleh dan menjadi risiko
pihak yang membuatnya. Kesesatan itu disebabkan oleh faktor internal yaitu
dirinya sendiri yang menyebabkan gambaran yang keliru terhadap sifat yang
sesungguhnya atas
2. Paksaan (dwang)
Ancaman/
paksaan (bedreiging, dwang) terjadi
apabila seseorang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
hukum, dengan menggunakan cara yang melawan hukum. Mengancam akan menimbulkan
kerugian pada orang tersebut atau kebendaan miliknya atau terhadap pihak ketiga
dan kebendaan pihak ketiga. Suatu ancaman dapat terjadi atau dilakukan dengan
menggunakan cara atau sarana legal maupun ilegal. Contoh sarana yang legal
adalah mengancam untuk melakukan permohonan pailit.
3. Penipuan (bedrog).
Penipuan
(bedrog) diatur dalam Pasal 1328 BW (Burgerlijk Wetboek) merupakan salah satu bentuk cacat
kehendak. Yang dimaksud penipuan adalah apabila seseorang sengaja dengan
kehendak dan pengetahuan menimbulkan kesesatan pada orang lain. Penipuan dapat
terjadi karena suatu fakta dengan sengaja disembunyikan atau bila suatu
informasi dengan sengaja diberikan secara keliru atau dengan menggunakan tipu
dengan lainnya. Terdapat hubungan yang erat antara kekeliruan dan penipuan.
Penipuan, unsur perbuatan melawan hukum dari pihak yang menipu dan tanggung
gugatnya terlihat dengan jelas. Sedangkan pada kekeliruan hal ini tidak tampak.
Selain itu, pada kekeliruan masih terdapat peluang untuk mengubah perjanjian.
Sedangkan pada penipuan tertutup peluang untuk mengubah perjanjian.
Jika terbukti sebuah
kontrak disepakati karena adanya tiga alasan diatas, maka kontrak tersebut
batal demi hukum (nietig, null and void) karena
dianggap meeting of mind (pertemuan kehendak) yang terjadi sehingga ada kata
sepakat didasari adanya keadaan-keadaan yang tidak normal.
Dalam praktiknya, ketiga
alasan diatas mengalami perkembangan. Sebuah kontrak dinyatakan batal demi
hukum bukan hanya karena adanya kesesatan, paksaan dan penipuan. Dalam New Burgerlijk Wetboek Belanda, Pasal 3:
44 menambahkan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden)
sebagai keadaan yang dapat menyebabkan
cacat kehendak.
Di Indonesia, meskipun
belum diatur secara expressis verbis dalam KUHPerdata, namun praktik pengadilan
telah melahirkan berbagai yurisprudensi hakim membatalkan perjanjian dengan
dasar adanya penyalagunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden).
Salah satu contoh terdapat
pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2356K/Pdt/2008 yang
menyatakan bahwa :
"Alasan-alasan kasasi
Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan karena judex factie (pengadilan
tinggi) telah salah menerapkan hukum. Bahwa Pengadilan Tinggi tidak
mempertimbangkan keadaan Penggugat pada saat dibuatnya perjanjian jual beli,
yakni Penggugat ditahan polisi karena laporan dari Tergugat I dan Tergugat II
untuk menekan Penggugat agar mau membuat atau menyetujui perjanjian jual beli
tersebut. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI bahwa
perjanjian jual beli yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa
adalah merupakan “MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEIDEN”.,
yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi
unsur-unsur Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu tidak adanya kehendak yang bebas dari
salah satu pihak. (H. Soeroso Ono, S.H., M.H.)
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata)
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 2356K/Pdt/2008
https://journal.trunojoyo.ac.id/shi/article/view/6433
Posting Komentar untuk "CACAT KEHENDAK (WILSGEBREKEN) SEBAGAI SALAH SATU ALASAN PEMBATALAN KONTRAK DALAM PERSEPEKTIF HUKUM PERDATA"